BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Alasan
Pemilihan Judul
Kekudusan merupakan sifat yang terutama diantara semua sifat
Allah. Oleh sebab itu Allah menginginkan supaya umat manusia yang terpisah dari
Allah karena dosa, dapat kembali memiliki hubungan persekutuan dengan Allah
yang kudus. Untuk memperoleh hubungan persekutuan yang harmonis tersebut, maka
Allah mengambil inisiatif untuk memisahkan umat manusia dari dosa untuk menjadi
milik-Nya yang kudus.
Bagi orang Kristen memelihara “kekudusan” memiliki makna
yang sangat penting untuk membangun hubungan yang harmonis dengan Allah. Itulah
sebabnya dalam kehidupan gereja dibuat aturan-peraturan agar kekudusan jemaat
tetap terpelihara. Namun jikalau melihat kenyataan yang terjadi, ada pemahaman
bahwa kekudusan hanya milik Tuhan, sementara orang Kristen adalah persekutuan umat kudus. Sebagaimana dikatakan dalam pengakuan iman
rasuli “Aku percaya kepada Roh Kudus dan adanya suatu gereja yang kudus”. Oleh
karena itu kekudusan perlu dipelihara sebagai identitas orang Kristen.
Demikian juga dalam tradisi Israel “ajaran kekudusan” merupakan
sesuatu yang harus dipelihara dalam hidup beriman. Banyak peraturan dalam
bentuk hukum yang dibuat demi menjaga kekudusan. Peraturan-peraturan tersebut
harus dipelihara sebagaimana bangsa itu adalah bangsa yang dipanggil untuk
menjadi kudus. Kekudusan merupakan istilah penting yang bersifat religius.
Suatu kata yang memiliki peranan dalam agama dan kehidupan orang-orang percaya.
Kekudusan berada dalam pusat agama untuk menggambarkan ‘keterpisahan’, “dikhususkan”, yang sangat misterius, Rudolf Otto[1]
menyatakan dengan, mysterium tremendum, yaitu mengenai hal-hal gaib. Semua itu
terdapat dalam gagasan "Yang Kudus." Kekudusan dalam berbagai segi kehidupan, merupakan inti yang paling dalam dari
iman dan praktek. Itulah sebabnya perlu mengetahui makna kekudusan itu dari konteks
tradisi Israel sebagai akar pemahaman mengenai kekudusan.
<span class="fullpost">
<span class="fullpost">
Di dalam kehidupan orang-orang yang sudah percaya dan telah
mengenakan kekudusan yang dari Allah, sering kali muncul permasalahan.
Munculnya permasalahan oleh karena kurangnya pemahaman Alkitab yang
komprehensif sehingga menimbulkan penafsiran yang keliru. Orang-orang percaya
kurang memahami apa sebenarnya yang melatar belakangi sehingga orang-orang
percaya disebut
menjadi bangsa yang kudus.
Hal demikianlah yang mendorong
penulis memilih judul, “Bangsa
Yang Kudus” (Study Hermeneutis Terhadap Imamat 19 :1-4), agar manusia
memahami bagaimana sebaiknya memberlakukan kekudusan dalam kehidupan hariannya,
baik secara individual maupun komunal. Penulis ingin menguraikan bahwa
kekudusan Allah-lah yang mendasari supaya manusia itu tetap kudus.
Sebagaimana kekudusan umat merupakan cerminan kekudusan Allah, maka
bangsa Israel senantiasa diperintahkan untuk menjaganya. Dalam kehidupan
keagamaan yang berbeda di Babel bangsa Israel dituntut untuk tetap memelihara
identitas mereka sebagai bangsa kudus. Bangsa Israel harus memperlihatkan bahwa
Allah adalah kudus dalam setiap segi kehidupan mereka.[2] Itulah sebabnya disusun hukum-hukum supaya
kehidupan umat menjadi teratur.
Sesuai dengan judul di atas penulis melihat bahwa yang menjadi pokok permasalahan
utama dalam tulisan ini adalah mengenai kekudusan. Dalam Perjanjian Lama (PL),
kekudusan Allah-lah yang menjadikan segala sesutu yang berhubungan denganNya menjadi kudus (tempat, waktu dan manusia),
misalnya sabat menjadi suatu hari yang kudus, bait Allah adalah tempat yang
kudus, Israel sebagai bangsa pilihan Allah juga sebagai bangsa yang kudus.
Arti dasar kudus adalah “memotong” atau “memisahkan” dapat juga
berarti “menjadi bercahaya” dan oleh karena itu harus disaring dari mata yang tidak bisa
mentolerirnya.[3] Dari
arti kata ini dapat dilihat bahwa “yang kudus” itu berarti dipisahkan untuk
Allah. Israel sebagai bangsa yang dipisahkan untuk Allah harus benar-benar
berbeda dari yang lain (dari bangsa-bangsa lain). Hal ini dapat dilihat dalam moral
dan kerohanian bangsa itu. Itulah sebabnya yang menjadi halangan utama untuk
menjadi kudus adalah tingkat moral dan rohani yang rendah.
Dalam kehidupan bangsa Israel, Tuhan berulang-ulang memperingatkan
agar jangan berkelakuan seperti orang Mesir atau orang Kanaan, yang tabiat dan
kebiasaan hidup mereka yang jahat dibenci oleh Tuhan (Im. 18:3; 20:23). Hal ini
berarti kekudusan memiliki peranan penting dalam ke-umat-Allahan. Bangsa Israel
adalah bangsa yang dipisahkan, dipisahkan bagi Tuhan, dan oleh karena itu bukan
Israel yang kudus pertama-tama tetapi karena Israel juga dipanggil untuk
menjadi kudus, dengan demikian menjadi orang-orang yang disucikan: "Sebab
Akulah Tuhan, Allahmu, maka haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu
kudus, sebab Aku ini kudus" (Im. 11:44). Oleh karena itu kata kekudusan
menunjuk kepada hubungan antara Tuhan dan umat. Itulah sebabnya kekudusan
merupakan ungkapan yang paling tinggi dalam hubungan perjanjian antara Tuhan
yang kudus dengan umat-Nya.
Seiring dengan berkembangnya zaman maka orang kristen sering kali
tidak menyadari bahwa mereka merupakan bahagian dari persekutuan orang-orang
kudus. Dengan demikian, hal itu menyebabkan munculnya tindakan-tindakan yang
tidak menjaga kekudusan hidupnya. Hal itu juga menyebabkan hubungan manusia
dengan Allah semakin jauh.
Kehidupan kristen sekarang berada ditengah-tengah pluralitas agama.
Hal ini kadang-kadang mengakibatkan identitas orang-orang kristen sebagai orang
kudus menjadi tidak jelas. Orang kristen sebagai persekutuan orang-orang kudus
dituntut untuk tetap memelihara kekudusan itu dalam konteks pluralitas agama.
Sebagaimana bangsa Israel adalah bangsa dipisahkan untuk Allah demikian juga
orang kristen dipisahkan untuk Allah. Dipisahkan untuk Allah bukan berarti fanatik
terhadap kepercayaan lain, melainkan sebagai orang-orang dipisahkan untuk Allah orang kristen
harus mampu membangun hubungan yang harmonis dengan mereka. Sebagaimana inti
hukum dalam kitab Imamat 19, “kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri;” (ay.18).
Untuk itulah penulis membahas tentang “Bangsa yang Kudus”. Manusia akan dapat mengetahui bagaimana
sebaiknya menjaga kekudusan hidup, sehingga dalam situasi yang bagaimanapun, manusia khususnya
orang Kristen dapat memelihara kekudusan yang diberikan oleh Allah kepadanya.
1.2.
Tujuan Penulisan.
Tujuan tulisan ini adalah untuk memahami makna kekudusan dalam konsep tradisi ibadah Isarel sebagai wujud nyata dari
kepedulian Allah kepada bangsa itu. Hal itu menunjuk pada tindakan Allah kepada
bangsa Israel, yaitu agar kekudusan bangsa itu tetap terpelihara. Tindakan
Allah itu bertujuan agar bangsa Israel tidak sama seperti bangsa-bangsa lain.
Oleh karena itu peraturan demi peraturan dibuat untuk menjaga kekudusan itu.
Tindakan itu juga memberi pengaruh yang sangat besar bagi bangsa Israel, yaitu
pengenalan kepada Allah. Itulah sebabnya perayaan liturgi dalam masyarakat
Israel selalu berhubungan dengan kekudusan. Selain itu tulisan ini juga akan
membahas mengenai penataan relasi ke-umatan dalam bingkai kekudusan. Hal ini
dimaksudkan untuk membangun relasi antara manusia dengan Allah dan hubungan
antara manusia dengan sesamanya, sehingga hal tersebut akan semakin memperjelas
makna kekudusan Allah bagi pertumbuhan iman Kristen.
1.3.
Manfaat Penulisan
Melalui pembahasan ini, penulis berharap
tulisan ini memberikan manfaat bagi penulis, untuk memahami makna
kekudusan dalam PL khususnya dalam tradisi bangsa Israel. Setelah itu akan
dapat merefleksikannya kedalam kehidupan masa kini. Melalui tulisan ini juga
penulis dapat memperkaya pengetahuan dan memperdalam ilmu dalam bidang Biblika
dan membangun semangat untuk tetap memberi dorongan kepada orang Kristen,
menjaga kekudusannya masing-masing. Penulis juga berharap agar tulisan ini
dapat membantu para akademisi lainnya yang berminat untuk lebih memperdalam
lagi tentang “Bangsa yang Kudus”.
Bagi gereja dan jemaat,
melalui tulisan ini jemaat semakin menyadari pentingnya kekudusan terutama
dalam menghadapi dilema kemajuan zaman yang kaya akan pengetahuan dan teknologi.
Gereja sebagai persekutuan orang-orang kudus harus mampu untuk tetap hidup
kudus ditengah-tengah zaman yang semakin maju.
1.4.
Ruang Lingkup dan Batasan Penulisan.
Dalam mencapai tujuan yang dimaksud dalam
tulisan ini, maka sebelumnya penulis membuat pembatasan. Dengan demikian,
pemahaman mengenai kekudusan dapat dicapai, dan waktu yang digunakan untuk memaparkan
maksud, isi dan tujuan penulisan ini akan lebih efisien. Selain itu melalui
ruang lingkup dan batasan penulisan ini, pokok bahasan akan tetap terarah.
Sebagai bagian dari keselamatan yang juga oleh
karena kasih setia Allah kepada bangsa Israel, maka Allah menetapkan bahwa
hal-hal tertentu harus dilakukan oleh umatNya. Hal itu tidak lain adalah
menunjukkan ketaatan mereka dan memperlihatkan iman mereka secara nyata yaitu
melalui memelihara kekudusan. Kekudusan yang memiliki arti “terpisah” menunjukkan
bahwa sesuatu yang kudus adalah “khusus”, “berbeda” karena dipisahkan untuk Allah. Kemudian sebagai konsekwensi dari
kekudusan berkaitan erat dengan kemurnian moral dalam setiap segi kehidupan.
Maksudnya adalah kekudusan harus tetap terpelihara bukan hanya dalam situasi
tertentu saja. Menjadikan hidup kudus merupakan perintah Allah yang
dibangun dalam kerangka kasih setia-Nya.
“Bangsa Yang Kudus” dibahas berdasarkan Imamat 19:1-4, mengenai kekudusan hidup umat
Allah dalam konteks bangsa Israel yang berada dalam pembuangan. Bangsa Israel
berada di pembuangan suatu daerah yang bukan milik mereka, tidak ada bait suci
sebagai tempat ibadah, tidak ada mezbah sebagai tempat pemberian persembahan
tetapi tetap dituntut untuk kudus. Kekudusan akan tetap dipelihara tanpa bait
suci karena Allah adalah kudus (Im. 19:2). Dengan demikian tulisan ini membahas
“kekudusan” yang terpelihara dalam suatu wilayah yang di dalamnya terdapat
kehidupan yang bertentangan dengan kekudusan itu sendiri. Kekudusan yang
terpelihara itu adalah sebagai cerminan dari kekudusan Allah. Itulah sebabnya
kekudusan Allah adalah sumber dari kasih persaudaraan dan hidup dalam
bermasyarakat.[4]
1.5.
Metode Penulisan
Secara keseluruhan metode penulisan yang digunakan dalam tulisan
ini adalah metode deskriptif biblika hermeneutik. Metode ini dilakukan untuk
memperoleh data dari ayat atau perikop tertentu sebagai objek studi literer
dengan menerapkan langkah-langkah hermeneutik. Penulis akan mengkaji nas dengan
menggunakan bantuan sarana, seperti kamus, leksikon, tulisan para pakar PL,
ensiklopedi, buku-buku pembimbing PL, buku-buku tafsiran, maupun bahan lainnya
yang dianggap dapat menolong memperjelas nas. Penulis menggunakan metode ini karena ingin mengkaji lebih jauh
mengenai judul yang penulis bahas dengan cara studi literatur secara khusus
mengenai perikop yang sudah ditentukan dalam kitab Imamat.
Dengan demikian, penulis mengharapkan dapat
membangun suatu pemahaman teologis dan hermeneutis yang aktual sebagai refleksi
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembahasan ini dapat memperoleh hasil akhir yang baik dan sesuai dengan tujuan
yang diharapkan.
1.6.
Sistematika Penulisan
Untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam
tulisan ini, maka penulis membuat topik-topik yang akan dibahas, yaitu:
Bab I Bab
ini merupakan uraian pendahuluan dalam beberapa bahagian yaitu, alasan memilih
judul, tujuan penulisan, ruang lingkup
dan batasan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II Dalam bab ini Penulis mencoba mengurai arti kata
kekudusan secara umum, kekudusan dalam konteks Perjanjian lama, dan Perjanjian
Baru
Bab III Pada
bab ini penulis mencoba menganalisa teks. Hal tersebut terdiri dari beberapa
pokok bahasan yaitu studi kitab Imamat, proses
penulisan, tujuan penulisan kitab Imamat. tafsiran ayat per-ayat.
Bab IV Bab
ini secara khusus merupakan refleksi terhadap kehidupan masa kini dari apa yang
diperoleh dari muatan teologi dari bab sebelumnya.
Bab V Kesimpulan.
Bab ini merupakan hasil dari rangkuman secara keseluruhan yang telah dibahas
dalam setiap bab.
BAB II
ETIMOLOGI
KEKUDUSAN
2.1. Kekudusan
Menurut Para Ahli
Kata
'kudus' dalam bahasa Ibrani adalah 'qados' yang berarti dipisahkan. Umat
Israel merupakan umat yang dipisahkan Tuhan untuk menyembah Tuhan. Orang Israel
dipisahkan untuk berbeda dengan bangsa-bangsa lain, sepenuhnya mengikuti Tuhan
di dalam beribadah, gaya hidup, melayani Tuhan, dan dengan kata lain, seluruh
keberadaan hidupnya.
Harun Hadiwijono mendefinisikan kata
kudus dengan singkat, dia mengatakan, “Kata kudus berasal dari pokok kata
Ibrani yang berarti: memisahkan.[5]
Yacob Milgrom juga mendefinisikan kata kudus ini hampir sama dengan definisi tersebut
di atas akan tetapi dia memberikan satu pernyataan yang penting dalam
definisinya tersebut. Yacob Milgrom mengatakan bahwa kata kudus tidak
hanya diartikan sebagai ‘dipisahkan dari’ tetapi ‘dipisahkan ke’ (Holiness
means not only ‘separation from’ but ‘separation to’). Ini merupakan
sebuah inspirasi dan tujuan serta keinginan Allah terhadap manusia.[6]
Jadi definisi kata ‘kudus’ tersebut mengarah pada status bangsa Israel yang
dipisahkan, yang dikhususkan bagi Tuhan serta statusnya yang berbeda dengan
bangsa-bangsa yang lain.
Sesuai dengan pengertian tersebut di
atas, maka arti daripada “Kekudusan” yaitu hidup dipisahkan dari cara dunia dan
dipisahkan kepada cara Allah. Hidup kudus menuntut pemisahan dari dunia untuk
dipersatukan kepada Allah. Sehingga oleh karena bangsa Israel merupakan umat
pilihan Allah maka selayaknya hidup mereka dikhususkan/dipisahkan untuk Tuhan,
cara hidup mereka mengikuti cara Allah sebagai bentuk pemeliharaan hubungan
Israel sebagai umat yang terpilih dan juga sebagai bentuk peresekutuan yang
utuh dan benar antara Israel dengan Allah. sehingga mereka terlihat pisah dan
berbeda dengan yang lain.
Banyak orang Kristen yang
mengartikan kekudusan itu bersih tanpa dosa. Jika demikian berarti hanya satu
yang tidak berdosa yaitu Tuhan Yesus. Kudus adalah segala sesuatu yang
dikhususkan dari kebiasaan atau hal-hal yang di duniawi.[7] Dengan demikian kudus juga
merupakan salah satu sifat dasar manusia. Jika demikian kekudusan tentunya bisa
dikejar oleh setiap orang. Begitu juga dengan gereja yang dikuduskan oleh Roh
Kudus, dikuatkan oleh kesaksian anggota-anggotanya yang setia. Makna dasar dari
akar kata Ibrani qdsy antara lain: (i) ’menyendirikan’, (ii) ’cemerlang,[8] Arti pertama mungkin menekankan
kekudusan atau pengudusan dalam arti posisi atau status, dan penggunannya
berkaitan dengan keadaan. Pengertian yang demikian tampak kurang memadai
sehingga haruslah dijelaskan lebih lanjut. Secara hakiki, kekudusan menempatkan
Allah pada tempat yang kudus. Imamat mempunyai pengertian yang bagus tentang
kekudusan, ”Kamu hendaknya kudus, karena Aku Tuhan Allahmu adalah kudus”Imamat
19:2. Perintah ini menekankan tentang kelakuan sehari-hari yang terdapat dalam ayat
ini bukan dialamatkan untuk kelompok khusus tetapi untuk semua[9].
Barang kali cara terbaik untuk
memahami kekudusan yang alkitabiah ialah mengakui bahwa hanya Tuhan yang
memilki sifat penuh misteri. Imamat menekankan bahwa kekudusan yang diperoleh
dari segala yang lain tetap merupakan pengertian yang mendasar bagi orang
Kristen. Orang Kristen sendiri secara status dikuduskan oleh Allah[10]. Kekudusan dimulai dengan
mengenalnya sebagai sifat Allah. Inilah permulaan dari konsep kekudusan. Ada
dua pertanyaan yang muncul dari tema kekudusan. Pertama bagaimana dosa bisa
disingkirkan? Kedua, bagaimana orang dapat memelihara kekudusan untuk bisa
bersekutu dengan Allah yang kudus?
Kekudusan dalam kitab Imamat ditulis
mulai dari pasal 17: sampai 26:46. Allah Israel adalah Allah yang kudus, oleh
sebab itu umat yang dengan-Nya masuk dalam satu hubungan yang khusus dan harus
hidup sebagai umat yang kudus. Kekudusan sangat erat sekali dengan peraturan
atau hukum-hukum yang menjaga kekudusan umat. Kadang-kadang dikatakan bahwa
Kitab Imamat mengemukakan hukuk-hukum upacara keagamaan Israel[11].
Pernyataan semacam ini haruslah didampingi dengan penelitian terhadap Kitab
Imamat sebagai kumpulan hukum saja. Pengertian Kitab Imamat tentang kekudusan
tidak terbatas pada pengkhususan. ”Aku adalah kudus” penggunaan seperti ini
menyatakan sebagaimana yang telah diterangkan. Allah bersifat rohani dan
manusia bersifat jasmani, Allah tidak kelihatan dan manusia kelihatan. Allah
berada ditempat yang kudus sedangkan manusia berada diluarnya karena dosa
manusia. Jikalau demikian kesempurnaan Allah secara moral menjadi bagian dari
konsep kekudusan-Nya dan Ia menuntut supaya umat perjanjian-Nya menjadi kudus.
Menurut Stephen Charnock kekudusan
adalah sifat ilahi yang Tuhan sendiri nikmati karena sifat itu mengekspresikan
kebesaran-Nya secara sempurna. Kekudusan berbeda dari kesempurnaan Allah yang
lain, karena kekudusan meluas ke seluruh sifat Allah lainnya. Karena itu
kasih-Nya adalah kasih yang kudus, keadilan-Nya adalah keadilan yang kudus,
dan seterusnya. Jika sifat-sifat Allah dapat dianggap sebagai bermacam sisi
dari sebuah permata, maka kekudusan adalah cahaya gabungan dari sisi-sisi itu
yang bersinar keluar dalam sinar kemuliaan.[12]
2.2. Kekudusan
Menurut Perjanjian Lama
Dalam Im. 19:1-4,
istilah yang digunakan untuk menjelaskan ‘kekudusan’ adalah–~yviädoq (qüdöšîm). Asal kata קדש (qdsy) yang ditemukan
dari beberapa tulisan berbahasa Semit. Oleh karena itu sumber kata qdsy sebenarnya bukan berasal dari
bahasa Ibrani tetapi berasal dari orang-orang Kanaan yang artinya “menjadi, (dalam arti kata: membuat,
menyatakan) bersih”.[13]
Menurut pengertian dasarnya, kata qdsy berkenaan
dengan sesuatu yang lain daripada yang
biasa, dan oleh karenanya terasing
dan terpisah daripada yang biasa itu.[14] Kata yang berhubungan dengan qdsy
adalah, ~r<xe (Hëºrem) artinya
“disediakan” atau “dikhususkan” (kepada Yahweh) karena telah “disisihkan”, “disendirikan”; “segala
yang dikhususkan adalah maha kudus bagi TUHAN”, Im. 27:28.[15]
Dalam hal ini kata ‘kudus’ dimaksudkan untuk keagamaan atau peribadatan. Itulah
sebabnya kata tersebut tidak mengandung
nilai moral. Meskipun orang Israel atau bahkan Imam sendiri memiliki rasa takut
ketika mendekati Kemah Suci, namun perasaan mengenai kuasa mengagumkan terhadap
tempat itu tidak boleh disamakan dengan nilai-nilai moral. Hal itu dapat
dilihat dalam PL kata qdsy berhubungan dekat dengan ibadah, Allah, manusia, tempat
dan waktu.[16]
Semua kata tersebut menggunakan kata qdsy. Dalam
hubungannya dengan bait Allah, qdsy mempunyai arti sebagai tempat yang kudus bukan kekudusan, dan
dalam suatu pembedaan dibuat antara tempat kudus (Kel. 26:33; Im. 4:6) dan yang
paling kudus, di antara yang kudus (Kel. 26:34; Bil. 18:10). [17]
Pengertian qdsy kemudian mendapat pengembangan. Ada
dua teori mengenai kata ini:[18]
pertama, kata qdsy berdasarkan hipotesis dihubungkan dengan dengan kata kuno קד (qdh), dari קדקד (qdhqdh), artinya “mahkota kepala atau mahkota yang diletakkan di
kepala”. Dalam bahasa Ugarit diterjemahkan dengan ‘memotong’. Berdasarkan teori
ini, asal kata qdsy dihubungkan dengan חדש artinya “menjadi baru” (bnd. קצב dan,חצב קצף dan חצף, קצר dan חצר : “memotong menjadi baru,
memencilkan”). Dalam semua kata tersebut secara umum memiliki maksud
“terpisah”. Teori kedua dihubungkan
dengan akar kata dari bahasa Akkadi yaitu, qadasu,
artinya “menjadi terang” atau “bersinar”, kata ini bersinonim dengan kata ellum, artinya “bersih” atau
“terang”. Dari kedua teori ini dapat dilihat bahwa kata ‘kudus’ mendapat
pengertian yang baru yaitu ‘menjadi baru’. ‘Menjadi baru’ berarti ada perubahan
dari yang ‘lama’ kepada yang ‘baru’. Konsep ‘kudus’ dalam pengertian ini
menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan tindakan moral. Berdasarkan
pengertian tersebut kata qdsy berlawanan dengan חל (khal) yang artinya “mencemarkan” atau “menajiskan” (Im. 10:10,
1 Sam. 21:5-6; Yeh. 22:26; 44:23).
Nabi
Yehezkiel juga menggunakan kata qdsy untuk mengungkapkan kekudusan, misalnya kekudusan Allah,
kekudusan rumah ibadah dan pemujaan, (Yeh. 7:24; 20:9, 14, 22; 22:8 dll).
Demikian juga penulis hukum kekudusan (Im. 17-26) menempatkan kata qdsy sangat menonjol (Im. 21:9, 12, 22:32) dalam menjelaskan
kekudusan sebagai sesuatu yang “terpisah”. [19]
Konsep kekudusan
terutama dikaitkan dengan Allah sendiri, kemudian (lewat perintah-Nya) dengan
benda-benda dan tempat-tempat (Kel. 15: 11; Yes. 40:25). Ia (Allah) senang akan
kebaikan dan kebenaran (Yer. 9:24), dan membenci yang jahat, yang menajiskan
namaNya yang Kudus (Im. 20:3). Benda-benda dan tempat ditandai oleh Allah
sebagai yang kudus, bukan karena tempat tersebut menakutkan, melainkan karena
Allah sendiri hadir di situ atau kehadiran-Nya dihubungkan dengan tempat
tersebut. Kekudusan[20]
Allah mengungkapkan kesempurnaan-Nya yang melebihi segala mahluk, sebab kekudusan
bukan bersumber dari luar diri-Nya. Kepada Musa dikatakan bahwa ia berdiri di
tanah yang kudus karena Allah berada di sana (Kel. 3:5).
Tabut Tuhan menjadi
kudus dan “tidak dapat di dekati”[21]
karena kehadiran Allah dikaitkan dengannya (1 Sam. 6:19-20; Kel. 29:43). Konsep
kekudusan dipakai untuk melestarikan hubungan yang telah ditetapkan dalam
perjanjian. William Dyrness[22]
menyatakan bahwa,
“kesadaran
kekudusan yang secara umum dianggap datang kemudian. Fakta kekudusan itu
mendahului, dan bukan mengikuti pengalaman manusia akan kekudusan. Allah harus
memberi tahu Musa bahwa ia berdiri di tanah yang kudus, kalau tidak Musa tidak
akan pernah tahu. Jadi perasan tentang kekudusan datang kemudian.”
Konsep kekudusan tidak
hanya digunakan untuk Tuhan saja atau pada tempat-tempat tertentu, tetapi
kekudusan juga berkaitan erat dengan umat-Nya; perjanjian itu adalah ungkapan
unik tentang kekudusan Allah. Umat yang dipilih oleh TUHAN, adalah orang-orang kudus:
"Sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu; engkaulah yang
dipilih oleh TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi
umat kesayangan-Nya.” (Ul. 7:6). Israel harus menjadi suatu bangsa yang kudus
bagi Tuhan (Kel. 22:31). Karena Ia kudus, maka merekapun harus kudus (Im.
11:44). Oleh karena itu, dalam tindakan-tindakannya mereka harus memelihara
kekudusan-Nya (Bil. 20:13). Karena alasan itu Allah disebut Yang Kudus Israel.[23]
Allah adalah yang Kudus, dan Israel sendiri tidak kudus, tetapi menjadi kudus
karena Israel dikhususkan bagi Allah. Seperti yang dikatakan Edmond Jacob
sebagaimana yang dikutip oleh William Dyrness,[24]
“Allah
Adalah kudus dan itulah sebabnya Ia memilih untuk mengikat perjanjian; manusia,
sebaliknya dapat menjadi kudus hanya dengan mengambil bagian dalam perjanjian
itu”.
Maksudnya adalah
walaupun bangsa Israel sudah mengambil bagian dalam perjanjian, Israel dapat
mengalami kekudusan Allah sebagai penghukuman (Yes. 10:17) atau sebagai
penyelamatan (Yes. 43:4,14).
Kekudusan dalam seluruh
PL membawa pesan samar-samar akan kesempurnaan kekuatan dan kehidupan dalam
konteks pribadi dan moral. Meski hanya Allah yang kudus, akan tetapi kekudusan
itu memancar daripada-Nya dan meliputi seluruh bumi (Kel. 15:11), berusaha
memperlihatkan diri-Nya sehingga nyata, seperti disiratkan oleh para nabi,
bahwa seluruh bumi sadar bahwa ia penuh dengan kemuliaan Tuhan (Yes. 6:1-3).
Oehler[25]
menyatakan bahwa,
“Semua
perwujudan perjanjian anugerah illahi adalah hasil kekudusan illahi. Di luar
lingkungan teokratis, ia tertutup bagi dunia; tetapi segera setelah dunia
berhubungan dengan kerajaan illahi, ia menerima berbagai penyataan dari
illahi.”
Oleh karena itulah
tidak ada seorangpun yang dapat menjadikan dirinya kudus. Gagasan untuk kemurnian dan ketidakmurnian tidak bersamaan
dengan apa yang disebut kekudusan dan ketidakkudusan. Kekudusan ciptaan selalu
kembali kepada kehendak Allah, untuk pemilihan dan institusi. Dengan kata lain:
status ciptaan ditentukan oleh janji Tuhan itu sendiri. Israel adalah
bangsa yang ‘dipisahkan’, ‘dikhususkan’ bagi TUHAN. Oleh karena itu bangsa
Israel tidak dengan sendirinya kudus, tetapi karena Allah telah memanggil
mereka untuk menjadi kudus; "Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, maka haruslah
kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus,"
(Im. 11:44).[26]
Oleh karena itu konsep kekudusan menunjukkan hubungan antara umat dan Tuhan.
Dengan demikian kekudusan merupakan ungkapan yang paling tinggi dalam hubungan
perjanjian antara TUHAN yang kudus dengan umat-Nya.
2.3. Kekudusan
Menurut Perjanjian Baru
Istilah kudus yang digunakan dalam Septuaginta
(LLX), khususnya pada kitab Im. 19:1-4 adalah a[gioj (hagios). Dalam
PB ada beberapa kata yang bersinonim dengan kata a[gioj
yaitu, i`ero,j[27] (ieros), o[sioj[28] (osios), semno,j[29] (semnos) dan a`gno,j[30] (agnos). Kata a[gioj berbeda dengan keempat kata
tersebut, yang mana a[gioj
mengungkapkan gagasan mengenai
kekudusan. Dalam PB hanya kata inilah yang mengungkapkan kekudusan yang menyatakan kekudusan Allah, sepanjang ‘kekudusan’ itu berhubungan
dengan keillahian, ditentukan dan dinyatakan sebagai penghormatan dari manusia
kepada Allah.[31]
Dalam hal ini kata kudus lebih mengarah kepada pemikiran tentang perubahan
batin yang terjadi berangsur-angsur, yang menghasilkan kemurnian, kebenaran
moral, dan pemikiran-pemikiran suci yang menyatakan diri dalam
perbuatan-perbuatan lahiriah yang baik dan menurut kehendak Tuhan.
Dalam Injil sinoptik
penggunaan kata kerja menguduskan bersifat seremonial atau ritual. Tuhan Yesus
berbicara tentang Bait Allah yang menguduskan emas, dan mezbah yang menguduskan
persembahan korban (Mat. 23:17.19). Di sini arti utamanya ialah pengudusan;
emas dan persembahan diserahkan, disendirikan dan dianggap secara khusus suci
dan berharga oleh hubungannya dengan bait Allah dan mezbah yang suci. Dalam
pengertian yang sejajar, namun yang lebih tinggi dan lebih rohani karena
menyangkut lingkungan kepribadian, Kristus menguduskan diri-Nya sendiri sebagai
karya pengorbanan-Nya. Allah menguduskan Dia dan Ia meminta pengikut-Nya
‘menguduskan’ Allah (Yoh. 17:19; 10:36; Mat 6:9). Lebih lanjut Ia menguduskan
umat dengan darah-Nya sendiri (Ibr. 13:12) dan mungkin dalam Yoh. 17:17
mengenai Allah menguduskan orang percaya melalui firman kebenaran. Pengudusan
ini bukanlah suatu proses melainkan sebagai kenyataan yang digenapi, karena
oleh satu korban ia telah menyempurnakan untuk selamanya mereka yang dikuduskan
(Ibr. 10:10,14).[32]
Kekudusan (agiosune) dalam
PB, merupakan kepunyaan semua orang percaya. Suatu istilah umum untuk ini
adalah agioi, pada
umumnya diterjemahkan dengan "orang-orang kudus." "Orang-orang
kudus," tidak mengacu kepada orang-orang yang dengan kekudusan yang
unggul/menonjol, tetapi kepada semua orang yang percaya dan senantiasa percaya
sampai harinya Kristus. Hal inilah inti dari pernyataan "Tetapi oleh Dia
kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi
kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita" (1 Kor. 1:30). Di
dalam PB, Kekudusan merupakan suatu pernyataan untuk semua orang yang ada di
dalam dan kepunyaan Kristus. Orang-orang percaya sebagai orang-orang kudus,
adalah "bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat
kepunyaan Allah sendiri…” (1 Pet. 2:9). Bangsa yang kudus tidak lagi hanya
Israel tetapi gereja. Orang-orang kudus ialah orang-orang yang dikuduskan oleh
Roh Kudus, sehingga mereka tidak lagi "dari dunia ini" (Yoh.
17:14-19). Dalam surat-surat rasul Paulus "orang-orang kudus"
berarti: orang-orang Kristen.
Dari penjelasan di atas
dapat dilihat bahwa qdsy berdasarkan
pengertian dasarnya tidaklah berhubungan dengan tindakan-tindakan moral. Kata qdsy menunjuk kepada status bahwa ‘sesuatu itu benar-benar terpisah’, ‘lain daripada yang lain’ karena telah
‘disisihkan’, ‘disendirikan’. Ketika
disebut Allah yang kudus, itu berarti Ia benar-benar terpisah. Pengertian ini
menunjukkan status, yang mana Allah memiliki posisi yang tidak sama dengan yang
di luar diri-Nya. Bangsa Israel sebagai bangsa yang dipilih TUHAN, tidak dengan
sendirinya ‘kudus’ tetapi oleh karena telah dipisahkan bagi TUHAN, dan oleh
karena itu bangsa Israel adalah bangsa benar-benar terpisah dari bangsa-bangsa
lain.
Oleh karena kekudusan
Allah, manusia tidak sanggup untuk mendekati -Nya. Allah berada ditempat yang
kudus sedangkan manusia berada di luar-Nya karena dosa-dosanya. Dalam hal ini
moral dikaitkan dengan kekudusan, di mana kesempurnaan Allah secara moral
menjadi bagian dari konsep kekudusan-Nya dan tuntutan-Nya agar umat perjanjian-Nya
menjadi kudus selalu terikat dengan hukum moral karena kekudusan umat dalam hal
ini dihubungkan dengan pemilihan Allah.
Dalam PB konsep
mengenai kekudusan ini lebih mudah dipahami karena secara umum berhubungan
dengan tindakan-tindakan moral. Kekudusan memiliki arti sebagai perubahan batin yang terjadi berangsur-angsur, yang
menghasilkan kemurnian, kebenaran moral, dan pemikiran-pemikiran suci yang
menyatakan diri dalam perbuatan-perbuatan lahiriah yang baik dan menurut
kehendak Tuhan.
BAB III
TAFSIRAN IMAMAT 9 : 1 - 4
3.1. Studi
Kitab Imamat
Kitab Imamat merupakan salah satu bagian
Kitab Taurat (Thora) yang jikalau diterjemahkan dapat berarti, ‘pengajaran’
atau ‘petunjuk dan khusus’ yang dipakai mengenai hukum-hukum. Dalam bahasa Yunani
disebut dengan nama Pentateukh, yang berarti lima jilid. Kumpulan kitab Taurat
terdiri dari kitab-kitab Kejadian, Keluaran, Imamat,
Bilangan dan Ulangan. Secara umum para ahli teori sumber-sumber menyatakan
bahwa keseluruhan isi Pentateukh dibagi ke dalam dua bagian istimewa yaitu: (1)
Kitab Perjanjian dan (2) kitab hukum-hukum. Dalam hal ini Kitab Imamat termasuk
dalam bagian kitab hukum-hukum.[33]
Sama seperti kitab lain
dalam Pentateukh, dalam kanon Ibrani nama kitab ketiga ini didasarkan pada
pemunculan kata pertama dalam kitab ini, yaitu wayyigra (“dan Ia
memanggil”). Pada masa Talmud kitab ini disebut tôrat kohanim (Hukum
Para Imam). Judul bahasa Inggris “Leviticus” dipinjam dari versi Latin Vulgata
“Leviticus”, yang diadopsi dari judul di LXX “Leuitikon” (lit. “yang
berhubungan dengan orang Lewi”)[34]
Kata ‘Imamat’ sebenarnya tidak terdapat
dalam gulungan kuno dan kata itu tidak pernah dikenal oleh siapapun dalam zaman
Israel kuno. Alkitab bahasa Ibrani (Hebrew Bible) menggunakan kata pertama yang
terdapat dalam ayat pertama yaitu, ar"Þq.YIw: (wayyiqrä´). Kata tersebut mempunyai arti “dan dia memanggil”.[35]
Kata tersebut memiliki pengertian akan adanya tindakan langsung dari subyek
terhadap obyek.
Selain itu masih ada sebutan lain untuk
kitab ini, misalnya dalam bahasa Inggris kitab Imamat disebut dengan
‘Leviticus’ dan dalam bahasa Indonesia disebut dengan Imamat. Kata Leviticus
diadopsi dari terjemahan Versi Latin Vulgata yaitu ‘Leuiticon’. Menurut Wenham[36]
judul dalam bahasa Inggris lebih tepat untuk judul kitab ini karena isi dari
kitab tersebut hampir keseluruhan berhubungan dengan imam, dan imam tersebut
biasanya dari suku Lewi.
Dalam bahasa Batak disebut dengan III Musa (Kitab Musa yang ketiga).[37]
Judul itu dihubungkan dengan kitab-kitab Pentateukh yang lain, misalnya
Kejadian disebut dengan Kitab Musa yang pertama, dan Ulangan disebut Kitab Musa
yang kelima.[38]
Hal ini dibuat demikian karena kemungkinan dalam kelima Kitab Pentateukh
berulangkali dengan ungkapan yang sama, Misalnya; “Tuhan berfirman kepada
Musa”, dan terdapat riwayat tentang peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai
yang terjadi pada zaman Musa. Penamaan kitab ini sebagai Kitab Musa mungkin
juga dipengaruhi oleh pandangan kuno yang menyatakan bahwa Musalah yang menulis
Pentateukh.[39]
Im.17-26 merupakan bagian
yang sangat kompleks dan menonjol karena memiliki kesatuan khusus, hal ini
dapat dikenal dengan melalui karakteristik tertentu dari pemakaian ilmu bahasa (linguistic). Salah satu dari
karakteristik pasal ini adalah rumusan tertentu yang sering diulang-ulang: “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus”,
ungkapan ini berulang-ulang disebut dalam kitab Imamat (Im. 19:2; 20:7, 8, 26;
21:6, 8, 15, 23; 22:9, 16, 32). Klostermann[40]
mengusulkan nama bagian tersebut dengan “Hukum Kekudusan” (Holiness Code) (H) yaitu pasal 17-26. Sebutan ini telah berlaku
umum, dan telah diterima oleh para ahli sebagai suatu bagian khusus yang
berdiri sendiri. Hukum ini memuat permintaan tegas yang sangat khusus demi
menjaga manusia dalam kekudusan, kesucian, hal etis dan ibadah (bnd. Im.
20:25-26).[41]
3.1.1. Penulisan Kitab Imamat
Ada berbagai pendapat yang menyatakan tentang pengarang dan waktu
penulisan kitab Imamat. Berbeda dengan tulisan
para nabi dalam PL yang penulisnya sudah jelas dan waktu penulisannya. Walaupun
dalam keseluruhan teks-teks pentateukh berulang-ulang disebut, “Allah berfirman kepada Musa” tetapi hal
itu tidak menjamin bahwa Musalah penulisnya. Apalagi konteks Pentateukh berasal
dari zaman yang lebih awal.
Tradisi kuno dan gereja
mula-mula mempertahankan bahwa Musalah yang menulis kelima isi buku Pentateukh.[42]
Dan jika Musa sebagai penulis buku tersebut sudah barang tentu bahwa buku itu
ditulis pada abad ke-13 sM. Ada empat argumen yang mendukung tradisi kuno
tersebut yang menyatakan bahwa Musa sendirilah yang menulis kitab Imamat,
yaitu:[43]
- Argumen pertama, buku itu selalu menyatakan bahwa hukum-hukum yang diberikan kepada Musa adalah di padang gurun. Hal itu dapat diketahui dengan ungkapan "Dan Allah berfirman kepada Musa." Gambaran padang gurun tidak dinyatakan untuk pengenalan kepada masing-masing bagian hukum itu, tetapi hal ini lebih sering dihubungkan kepada peraturan hukum-hukum mereka sendiri. Pengorbanan selalu ditawarkan di Rumah Perkemahan (Tabernacle) bukan di dalam Kuil (bnd. Im. 1-17); penderita kusta harus tinggal luar sisi kemah, bukan di luar kota besar (Im. 13:46); tiap-tiap orang Israel tidak boleh membawanya langsung ke dalam Rumah Perkemahan tetapi menyerahkan kepada Imam (Im. 17:1-9); hukum berlaku hanya untuk orang-orang yang telah ditetapkan; pertama kali mereka biasanya menyatakan bahwa Tuhan sedang membawa Israel ke tanah Kanaan, tempat yang telah dijanjikan kepada mereka (Im. 14:34; 18:3; 23:10; 25:2).
- Argumen kedua, menyatakan tidak ada dalam Kitab Imamat yang tidak berasal dari zaman Musa. Upacara agama dan sistem pengorbanan di daerah Timur Tengah adalah sebagai bukti masa lampau sebelum zaman Musa.
- Argumen ketiga, mengedepankan bahwa kitab Imamat tidak sesuai dengan kebutuhan setelah zaman pembuangan. Sebagai contoh, walaupun Im. 18 dan 20 panjang lebar dengan peraturan tentang perkawinan, namun tidak ada peraturan mengenai perkawinan campuran seperti yang terjadi pada zaman Ezra dan Nehemiah (Ezr. 9-10; Neh. 13:23ff.).
- Argumen keempat, menyatakan bahwa buku Yehezkiel berulang kali mengutip teks dari Imamat (Misalnya: Im. 10:10, Yeh. 22:26; Im. 18:5, Yeh. 20:11; Im. 26, Yeh. 34). Hal ini tentu saja memberikan bukti bahwa kitab Imamat ditulis pada zaman Musa. Hukum menjadi pengikat bangsa Israel oleh karena itu mereka harus mengabadikan hukum sebagai perjanjian TUHAN dan umat-Nya.
3.1.2. Sumber H
(Holiness Code)
Hukum Kesucian
(Holiness Code) terdapat dalam kitab Im. 17-26. Hukum ini merupakan
hukum resmi dan yang terpenting dalam tradisi Israel yang kemudian dimasukkan
ke dalam tulisan/dokumen para imam.[44]
Pokok utama yang ditekankan dalam hukum ini adalah
mengenai kekudusan. Hukum ini berfungsi bagi bangsa Israel yang berada di pembuangan
untuk memelihara kekudusan. Kekudusan menjadi suatu ajaran yang sangat penting
di Babel bagi bangsa Israel untuk mempertahankan identitas mereka sebagai
bangsa pilihan Allah.[45]
Mengenai penulisan, Fohrer,[46] Eissfeldt,[47] Mulder,[48] dan Childs[49] sependapat bahwa
Hukum Kekudusan berasal dari satu sumber yang mandiri (terpisah) yang juga
berasal dari tulisan para Imam. Hukum Kekudusan ini ditulis pada permulaan abad
ke-7 atau awal abad ke-6 sM. Isinya sangat mirip dengan kitab nabi Yehezkiel.
Oleh karena itu, bagian Hukum ini diperkirakan pada permulaan zaman pembuangan.
Bagian hukum kekudusan ini kemudian diredaksi menjadi bagian dari kitab Imamat setelah
bagian ini digambungkan dengan sumber P ke pada akhir masa pembuangan. Driver[50] juga setuju dengan pernyataan itu, bahwa sumber H sangat
dekat dengan nabi Yehezkiel. Hal itu dapat diketahui dari kitab Yehezkiel yang
banyak mengutip hukum-hukum dari sumber H.
3.1.3.
Sumber P (Priestly Code)
Bahan-bahan dari sumber
P berasal dari zaman pembuangan yang sering disebut dengan P1 dan sebagian lagi
setelah pembuangan yaitu P2. Secara keseluruhan sumber P berfungsi sebagai
dasar resmi untuk mengatur kehidupan karena perlu adanya pertobatan umat dan
memperbaiki persekutuan hidup keagamaan. Sebagaimana sumber-sumber lain, sumber
P juga mengemukakan tentang sejarah untuk keperluan zamannya. Hal ini dapat
dilihat dari isinya yang merupakan rentetan sejarah dan hukum sebagai
karakteristik Israel-Agama Yahudi. Sumber P ditulis bukan menunjukkan masa
lampau (past) tetapi bagaimana tulisan itu berguna pada masa sekarang (present)
dan pada masa yang akan datang (Future).[51]
Keseluruhan cerita sejarah dan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya dituliskan
dalam kejadian yang telah berlangsung lama (misalnya: cerita mengenai
penciptaan dan cerita Musa), tetapi cerita tersebut sungguh-sunguh
memberitahukan kejadian pada masa sekarang dan diformulasi khusus untuk
zamannya. Bukan hanya untuk keadaan ketika tulisan itu ditulis (present) tetapi
lebih dari itu, yaitu untuk zaman yang akan datang (future).[52]
Dengan demikian untuk memahami sumber P harus dilihat dari tiga bentuk waktu
yang berbeda (past, present dan future).
Sumber P memiliki isi program resmi dari
akhir kitab Yehezkiel, hanya saja sumber P menyajikannya dalam masa lampau
untuk masa sekarang. Sumber ini merupakan bagian tersendiri yang telah
disampaikan Allah jauh sebelumnya dan sebagian besar di Sinai. Teofani di Sinai
merupakan hal yang mendasar dan penting untuk permulaan keagamaan Israel yang
telah dihormati oleh nenek moyang mereka, karena hampir semua
keterangan-keterangan hukum-hukum yang di dalamya mirip dengan tuntutan hukum
yang ada dalam sumber-sumber yang lebih tua. Jadi dari setiap periode
berhubungan dengan Sinai, hal ini mungkin berdasarkan fakta-fakta yang ada pada
sejarah keagamaan Israel dan Yehuda. Sumber P sederhana untuk dipahami
misalnya dalam memulai uraiannya karena
masa depan sebagai pengharapan. Sumber P menyajikan sebagaimana yang telah
dinyatakan Allah di gunung Sinai atau jauh sebelum itu, dan cerita itu aktual
dalam berbagai segi dalam masa lalu.[53]
Menurut Charpentier[54]
sumber P merupakan bagian yang termudah dikenali dalam Pentateukh dengan
melihat ciri-cirinya, yaitu:
- Gaya bahasanya kering. Penulis tradisi ini bukan seorang pencerita yang baik. Ia menyenangi tokoh-tokoh dan daftar-daftar. Ia suka mengulangi hal-hal yang sama. Mis. “Allah berkata,. . . Allah Melakukan” (lih. versinya tentang penyebrangan Laut Merah; Penciptaan, Kej. 1; Pembangunan Kemah Suci, Kel. 25-31; 35-40)
- Perbendaharaan kata-katanya sering bersifat teknis dan berhubungan dengan ibadah. Daftar keturunan sering muncul, hal ini penting bagi umat yang ada di pembuangan untuk mengetahui dan membedakan orang yang tanpa asal-usul. Itu memberi ketegasan kepada mereka tentang asal-usulnya dalam sejarah dan menghubungkan sejarah itu dengan penciptaan (Kej. 2:4; 5:1; Bil. 3:1).
- Ibadah mendapat tempat sentral. Musa yang menatanya; Harun dan keturunanya ditunjuk bertanggungjawab untuk meneruskan hal itu melalui upacara ziarah, hari-hari raya, dan Ibadah di bait Allah, yaitu tempat yang kudus dimana Allah hadir. Imamat adalah institusi atau lembaga penting yang menjamin keberadaan umat; ini menggantikan peranan raja dalam tradisi Yahwist dan nabi dalam tradisi Elohist.
- Ketetapan-ketetapan biasanya ditempatkan dalam suatu konteks cerita. Jadi bangsa Israel dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang memberi makna bagi mereka. Sebagai contoh, hukum kesuburan (Kej. 9:1), dalam cerita Air Bah atau ketetapan Paskah (Kel. 12:11ff), dihubungkan dengan kesepuluh tulah di Mesir.
Sebagaimana kitab Imamat berasal dari
sumber P dan H yang banyak menyertakan peran-peran imam dan juga berisi
hukum-hukum didalamnya, bukan berarti yang meredaksinya juga berasal dari para
imam, atau ahli-ahli hukum tetapi para ahli setuju bahwa penulisnya berasal
dari kaum terpelajar. Penulis meredaksi kitab Imamat berdasarkan sumber-sumber
literatur. Walaupun sumber Y (Yahwist)
dan E (Elohist) yang dihasilkan oleh cerita-cerita tradisi lisan dari
masyarakat, tetapi berbeda pengarang P yang mencari
dokumen yang berdiri-sendiri dengan kesabaran dan dengan sungguh-sungguh
melihat dengan kecurigaan atas informasi yang disampaikan dengan lisan. [55]
3.1.4.
Tujuan Penulisan Kitab Imamat
Secara umum tujuan dari kitab Imamat
adalah mengajarkan kepada umat Israel bagaimana seharusnya hidup sebagai umat
yang kudus. Hal itu dikarenakan bahwa Tuhan memberi perjanjian dan yang memilih
serta memanggil mereka untuk melayani Dia. Hukum-hukum yang terdapat dalam
kitab Imamat dihubungkan dengan kehidupan Musa, namun maksudnya ialah supaya
hukum-hukum itu ditaati dan peristiwa-peristiwa itu dipergunakan pada setiap
zaman dalam sejarah umat Israel.[56]
Imamat pada dasarnya
merupakan suatu penuntun atau buku panduan mengenai kekudusan yang dirancang
untuk memberikan petunjuk kepada masyarakat perjanjian mengenai penyembahan
kudus dan kehidupan kudus sehingga mereka dapat menikmati kehadiran berkat
Allah (bnd. Im. 26:1-13). Berbagai hukum dan instruksi yang diberikan adalah
untuk mengubah bangsa Isarel yang “tercemar” menjadi kerajaan imam dan bangsa
yang kudus (bnd. Kel. 19:6).
Imamat juga menunjukkan
kepada bangsa Isarel bagaimana mereka harus hidup kudus, sebagai suatu bangsa
yang bersekutu dengan Allah. Dengan demikian kitab Imamat mempersiapkan bangsa
itu bagi tugas mulia untuk menjadi perantara dalam karya penyelamatan Allah
pada segala bangsa. Sebagaimana tujuan sentral Imamat adalah menyatakan
kekudusan Allah, Israel perlu diajar tentang kekudusan Allah. Melalui kitab
Imamat disajikan suatu pelajaran berharga untuk menyatakan kekudusan Allah
dengan 3 cara yaitu:[57]
1. Dalam
peraturan korban, yang menegaskan bahwa tanpa penumpahan darah tidak ada
pengampunan, dengan demikian meyakinkan hati manusia yang paling keras
sekalipun tentang kengerian dosa.
2. Dalam
peraturan hukum, yang merupakan ukuran dan pedoman bagi watak dan kelakuan.
3. Dalam
hukuman-hukuman, yang ditentukan bagi pelanggar-pelanggar hukum, dengan tegas
menyatakan kemutlakan kekudusan Allah.
Dalam kekudusan-Nya
terkandung perintah supaya Israel “terpisah” dari bangsa-bangsa lain. Dan
hukum-hukum Imamat dimaksudkan untuk menjamin pemisahan ini, dan untuk
mempersiapkan bangsa itu bagi tugas panggilannya yang mulia diantara
bangsa-bangsa.
3.2. Posisi
teks Imamat 19 : 1 – 4
3.2.1. Perikop Sebelumnya.
Untuk mengerti dan memahami Imamat 19 : 1 – 4, tidak
terlepas dari perikop sebelumnya. Pasal 18 memuat larangan untuk tidak
menajiskan diri yang ditujukan kepada orang-orang Yehuda yang berada di
pembuangan yaitu tempat yang penuh dengan penduduknya yang berdosa. Orang Yehuda
yang berada dalam pembuangan diperingatkan dengan keras supaya mereka tidak
menjadi serupa dengan cara hidup orang-orang asing yaitu orang mesir dan orang
kanaan. Mereka harus menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai
dengan kehendak Tuhan. Mereka harus hidup sesuai dengan ketetapan Tuhan, sebab
jika tidak, mereka akan ditolak dan mendapat hukuman dari Tuhan. Dan orang-orang
yang melakukan kekejian harus “dilenyapkan dari tegah-tengah bangsanya”, dan
mereka akan dihukum mati.[58]
3.2.2. Perikop Sesudahnya
Peraturan tentang kekudusan hidup yang terdapat dalam
keseluruhan pasal 19 dalam bagian pertamanya (ay 1 – 4) yang menyatakan dasar
kekudusan yaitu, Allah adalah Kudus, selanjutnya untuk menghormati orang tua,
memelihara sabat dan tidak menyembah berhala.
Bagian ini serupa dengan tiga hukum yang ada dalam dasa titah, dalam
hukum perjanjian dan hukum Deutronami. [59]
Setelah keempat hal yang pertama itu barulah dimulai babak baru yaitu mengenai
hubungan interaksi sosial sehari-hari.
Aturan-aturan hidup
sehari-hari tersebut diringkaskan ke dalam 21 jenis hukum. Ke 21 hukum tersebut
jika diuraikan lagi maka, terdapat 9 perintah yang berkenaan dengan kekudusan
dan 24 larangan yang berhubungan dengan kekudusan.[60]
Semua aturan-aturan tersebut di dasarkan atas kasih. Oleh karena itu bagian
dari pasal 19 disebut juga dengan hukum kasih.[61]
Perintah untuk mengasihi sesama dalam pasal ini terdapat pada akhir sekelompok
hukum-hukum yang beraneka ragam misalnya menghormati ayah dan ibu, memperingati
hari Sabat, menghindari penyembahan berhala, mempersembahkan kurban keselamatan
dan meninggalkan sebagian hasil panen untuk orang pendatang. Perintah mengasihi
sesama menyusul setelah larangan tentang fitnah atau mengancam hidup atau
menuntut balas atau menaruh dendam terhadap sesama. Perintah itu merupakan
ringkasan yang tepat mengenai hubungan dengan sesamanya dalam kehidupan
sehari-hari.[62]
Bahkan Fohrer[63]
menyatakan keseluruhan Hukum kekudusan Im. 17 - 26 (Holiness Code)
intinya adalah Im. 19:8, yaitu, “kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Dengan dengan demikian bangsa
Yehuda yang berada di Pembuangan masih diperintahkan agar tetap untuk mengasihi
bukan hanya antar sesama mereka tetapi juga kepada orang-orang asing yang
beraneka ragam di Babel.
3.2.3. Hubungan Dengan Keseluruhan Kitab
Teks Im. 19 : 1 - 4, berhubungan dengan
keseluruhan kitab Imamat. Hal itu dapat diketahui bahwa yang menjadi inti pokok
dalam kitab Imamat adalah Kekudusan. Demikian juga halnya Im. 19:1-4 yang
menekankan kekudusan. Itulah sebabnya jika dilihat isinya secara keseluruhan, kitab
Imamat dapat disebut dengan “Kitab kekudusan Tuhan”, dengan tuntutan-Nya yang
mendasar yaitu, “Kuduslah kamu bagi-Ku,
sebab Aku ini, TUHAN adalah kudus” (20:26). Kekudusan-Nya nampak dalam
penghukuman-Nya terhadap dosa Nadab dan Abinhu (10:1-7) dan para penghujat
(24:1-23).[64]
Kekudusan Allah
mengharuskan adanya hukum-hukum keagamaan
tentang persembahan dan makanan, pentahiran dan penyucian, masa Raya dan
upacara-upacara lainnya. Dalam hal ini para imam adalah orang-orang yang sangat
penting sebagai perantara antara Tuhan dengan Israel dalam pelaksanaan
hukum-hukum tersebut. Kehidupan di dalam perjanjian adalah kehidupan yang terus
menerus diatur dengan berbagai macam
peraturan. Cita-cita yang didambakan sedemikian mulia, sehingga tidak ada
sesuatupun kecuali persembahan yang dapat menutupi Israel di hadapan hadirat
Tuhan, karena Israel tetap tidak mampu memenuhi tuntuntan-tuntutan kudusan-Nya.[65]
3.3. Terjemahan
Imamat 19 : 1 – 4
3.3.1. Terjemahan
LAI Tahun 2011.
Ayat 1 TUHAN
berfirman kepada Musa:
Ayat 2 "Berbicaralah kepada segenap jemaah
Israel dan katakan kepada mereka: Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu,
kudus.
Ayat 3 Setiap orang di antara kamu haruslah
menyegani ibunya dan ayahnya dan memelihara hari-hari sabat-Ku; Akulah TUHAN,
Allahmu.
Ayat 4 Janganlah kamu berpaling kepada
berhala-berhala dan janganlah kamu membuat bagimu dewa tuangan; Akulah TUHAN,
Allahmu.
3.3.2. Bibel
Huria Kristen Batak Protestan 2010
Ayat 1 Dung i ro muse ma hata ni Jahowa tu si
Musa songon on:
Ayat 2 Hatahon ma tu sandok luhutan ni halak
Israel hata on: Ingkon badia hamu, ai na badia do Ahu, Jahowa, Debatamuna i!
Ayat 3 Ingkon ganup jolma pasangaphon inana dohot
amana, jala ingkon radotanmuna angka ari Sabbathu, ai Ahu do Jahowa, Debatamuna
i!
Ayat 4 Jala ndang jadi hamu mandompakkon angka
ajiajian, jala ndang jadi hamu mambahen angka debata tuangan di hamu, ai Ahu do
Jahowa, Debatamuna i!
3.3.3. Kritik Teks.
- Ayat 2
Kata “Segenap Jemaat” diterjemahkan ke dalam bahasa Batak
“Sandok Luhutan” maksudnya menjadi lebih jelas yaitu setiap
jemaah. Penggunaan kata “setiap”
(bahasa Batak Sandok) berarti “tidak ada seorang pun yang tidak” atau satu
persatu dari setiap jemaah.
- Ayat 3
Dalam teks ini baik terjemahan LAI dan Bibel kelihatan ibu didahulukan
daripada ayah. Jika dibandingkan dengan Im. 21:2, posisi
Ibu juga ditempatkan pertama kemudian ayah. Dalam ayat 3 ibunya dan
ayahnya (LAI) inana dohot amana (Bibel. Dengan melihat urutan ini
(Im. 19:3 ) berarti menekankan bahwa dalam hidup keluarga peranan
ibu di dalamnya sangat penting.
3.4. Tafsiran
Ayat.
3.4.1. Tafsiran
Imamat 19 : 1- 4
a.
Dan TUHAN berfirman kepada Musa (ayat 1)
Tuhan berfirman kepada Musa, ungkapan ini berulangulang
dituliskan dalam kitab Imamat.
Ungkapan ini dituliskan sebanyak 33 kali dalam kitab
Imamat (4:1, 5:14, 6:1, 6:8,19,24, 7:22,28, 8:1, 10:8, 11: 1, 12:1, 13:1,
14:1,33, 15: 1, 17:1, 18:1, 19:1, 20:1, 21:1,16, 22:1,17,26, 23:1,9,23,26,33,
24:1, 25:1, 27:1). Pentingnya tokoh Musa menjadikannya
sebagai penerima firman, sebagaimana Abraham memiliki peran penting dalam
sejarah Israel sebagai Bapa leluhur, demikian juga Musa yang mengorganisasi
bangsa itu, mengajarkan hukum-hukum, dan memimpin bangsa itu selama 40 tahun di
padang gurun dibawah pimpinan Allah. Musa menjadi tokoh penting dalam sejarah
Israel karena dalam peristiwa keluaran Musalah yang menjadi pemimpin Israel
keluar dari perbudakan Mesir. Selain seorang pemimpin, Musa juga berperan
sebagai nabi[66],
yaitu orang yang akan menyampaikan firman Allah kepada bangsa Israel. Itulah
sebabnya penerima firman dalam Im.19:1 adalah Musa (yang juga sebagai ciri khas
kitab Imamat). Dengan demikian bagi orang-orang Israel yang mendengarnya di
pembuangan tergerak hatinya untuk melakukan yang sesuai dengan firman itu.
b.
Bangsa Yang Kudus (ayat 2)
Kekudusan
menjadi persoalan khusus dalam keseluruhan kitab Imamat. Ajaran pokok kitab
Imamat diringkaskan dalam perintah “haruslah
kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab Aku ini (Yahweh)
kudus..” (Im. 11:44-55). Bagian pertama
dari Imamat memuat garis besar tuntutan untuk menyembah Yahweh (pasal 1-10),
dan bagian kedua menetapkan bagimana
umat perjanjian Allah mewujudkan gagasan kekudusan ke dalam kehidupan
sehari-hari (pasal 11-27). [67] Persoalan
ini teristimewa didasarkan atas adanya banyak dewa-dewa di Babel yang
menyebabkan bangsa Israel di pembuangan ragu akan Yahwe. Para imam yang ada di
pembuangan bergumul untuk mendapatkan suatu jawaban. Oleh karena itu dalam
menjaga keumat-Allahan dalam pembuangan, perlu pemahaman tentang kekudusan Allah. Hal
ini menyangkut pemahaman bahwa Yahweh benar-benar ada. Pemahaman mengenai
kekudusan Allah ini bertujuan untuk menyatakan bahwa dewa-dewa berhala, tidak
memiliki pengaruh apa pun dibandingkan Yahwe.
Ketika bangsa Israel hidup di tanah
Mesir, mereka mengenal kepercayaan orang-orang Mesir yang menyembah allah-allah
lain. Mereka berada di lingkungan yang tidak percaya kepada Allah. Sehingga setelah
mereka keluar dari tanah Mesir kepercayaan itupun mempengaruhi sikap hidup
mereka dihadapan Allah, kehidupan mereka tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Itulah sebabnya Allah memberi firman-Nya yang penuh dengan pernyataan, larangan
dan juga perintah. Allah menunjukkan bahwa Dia adalah Allah yang Esa yang patut
disembah.
“Katakanlah kepada
setiap jemaah anak-anak Israel” ungkapan ini
menekankan bahwa perintah-perintah tentang kelakuan sehari-hari yang terdapat
dalam pasal ini dialamatkan kepada bangsa Israel. ayat ini menyatakan, bahwa perintah tersebut untuk semua
orang Israel (tidak terkecuali) dari anak-anak sampai kepada orang tua.
Ungkapan
selanjutnya disampaikan dalam pernyataan imperatif (perintah) dalam bentuk
hubungan sebab akibat, “Kuduslah kamu,
sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus” (terj. LAI). Lima kali dalam kitab Imamat
Allah berkata, “Haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus” (11:44,45, 19:2,
20:7,26). Dan 45 kali Dia berkata, “Akulah Tuhan” atau “Akulah Tuhan, Allahmu.”
Salah satu tema terpenting dalam kitab Imamat
adalah panggilan Allah bagi umat-Nya untuk menjadi kudus. Yesus menggemakan
tema ini ketika berkata, “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di
surga adalah sempurna” (Matius 5:48). Perintah
ini merupakan dasar pemanggilan bangsa Israel untuk menjadi, “bangsa yang
kudus”. Bangsa Israel dituntut untuk kudus karena Allah adalah Kudus (bnd. Yes.
6:3; Maz. 99:9). Arti dari kekudusan dalam hal ini adalah “terpisah”,
“dikhususkan” sebagaimana Allah oleh karena kemuliaan-Nya terpisah dari manusia
demikianlah halnya manusia terpisah dari bangsa-bangsa asing yang percaya
kepada dewa-dewa.[68]
Inilah yang menjadi identitas bangsa Israel dalam pembuangan. Kekudusan akan
kelihatan dalam pola kehidupan sehari-hari. Gagasan
kekudusan merupakan ajakan supaya tidak ada kekacauan, hal ini dapat dilakukan
dengan menegakkan kejujuran dan yang menjadi lawanya adalah tindakan
kecurangan. Misalnya; Pencurian, penipuan, saksi palsu, menipu timbangan atau
pengukur lainnya, menghina orang yang tuli (yang seharusnya memperhatikan
mereka), kebencian terhadap saudara (yang seharusnya ramah kepadanya). Hal ini
dapat dilihat jelas dalam aplikasi hidup kudus dalam ayat selanjutnya (ay.
5-37). Sebagaimana
yang dipahami oleh umat TUHAN dalam PL disebutkan,
Siapakah yang seperti
Engkau, di antara para allah, ya TUHAN; siapakah seperti Engkau, mulia karena kekudusan-Mu, menakutkan
karena perbuatan-Mu yang masyhur, Engkau pembuat keajaiban. (Kel. 15:11); Tidak ada yang kudus seperti TUHAN,
sebab tidak ada yang lain kecuali Engkau dan tidak ada gunung batu seperti
Allah kita, (1 Sam. 2:2); Tidak ada
seperti Engkau di antara para allah, ya Tuhan, dan tidak ada seperti apa yang Kau buat. Segala bangsa yang Kau jadikan
akan datang sujud menyembah di hadapan-Mu, ya Tuhan, dan akan memuliakan
nama-Mu. Sebab Engkau besar dan melakukan keajaiban-keajaiban; Engkau sendiri
saja Allah (Mzm 86:8-10; lihat juga Mzm. 99:1-3; Yes. 40:25; 57:15).
Pemahaman ini
menyatakan bahwa Allah itu adalah kudus, tidak ada yang seperti Dia. Ungkapan
ini menunjukkan keunikan kemutlakan Tuhan dalam ketransendenan-Nya di dunia,
dan keterpisahan-Nya dari ciptaan. Tuhan adalah Dia yang memelihara miliknya
sendiri, pemelihara yang terpisah dari segala ciptaan.[69]
Oleh karena itu tidak ada yang dapat menyamakan diri dengannya. Ketika
disebutkan Allah kudus berarti Tuhan itu secara transendental terpisah. Ia
menjadi sangat jauh di atas dan di luar manusia, bahkan hampir kelihatan
sebagai orang asing bagi manusia. Menjadi kudus adalah menjadi 'lain,' menjadi
berbeda dalam suatu cara yang khusus. Aku adalah Kudus menerangkan konsep kekudusan Allah menjadi tuntutan
bagi bangsa itu agar hidup kudus di hadapan-Nya.
Pemahaman kekudusan Allah dan umat juga harus dipahami dari
peristiwa Sinai. Inti dari peristiwa ini adalah pertemuan antara Yahweh dan
bangsa Israel, dimana Yahweh bersedia menjadi Allah Israel serta membuat bangsa
Israel menjadi milik-Nya sendiri (nahala
= milik pribadi; segula = milik
kesayangan), sebagai kerajaan imamat dan bangsa yang kudus.[70]
Pertemuan di Sinai menunjuk kepada mulainya hubungan yang istimewa antara
Yahweh dan bangsa Israel, dimana bangsa Israel memperoleh identitas yang baru.
Bangsa Israel menjadi bangsa yang kudus, kerajaan imamat yang beribadah hanya
kepada Yahweh saja. Dalam pertemuan itu bangsa Israel juga menyatakan
kesediannya untuk melakukan segala yang difirmankan oleh Yahweh. Dengan ini
jugalah bangsa Israel mempertahankan identitasnya sekaligus dalam pemeliharaan
kekudusan umat, sehingga penyembahan kepada dewa Marduk di pembuangan sulit
untuk mempengaruhi bangsa kudus Yahweh.[71]
Status Bangsa Yang Kudus yang dimaksud
yaitu bukan hanya ingin menunjukkan adanya keterpisahan dengan orang-orang
kafir disekitar bangsa Isarael itu sendiri, tetapi juga ingin memberikan
pengertian tentang manusia seutuhnya. Pasal 17-20 menghubungkan etika Israel
sebagai respon yang serupa dengan Pasal 11-16, yang telah melakukan suatu ritus
pemujaan kepada Allah yang kudus (Pasal 19). Kata “AKU adalah TUHAN ALLAHMU” (19:4ff), ingin menghubungkan pewahyuan
Ilahi kepada perjanjian Sinai, yang dikenal sebagai suatu penyikapan nama Ilahi
(Kel. 6:2ff).
Tututan
Allah agar bangsa Israel menjadi kudus merupakan tuntutan yang sangat penting
dan berguna. Allah menyampaikan tuntutan-Nya kepada bangsa Israel tersebut
dengan sebuah alasan yan tepat yaitu karena status-Nya yang kudus. Bangsa
Israel dituntut hidup kudus sebagaimana Allah adalah Kudus dengan tujuan supaya
kemuliaan-Nya dan kekudusan-Nya nyata melalui umat pilihan-Nya (Im. 10 : 3).
Allah menghendaki supaya umat-Nya meniru kekudusan-Nya, karena dengan demikian
kemuliaan Allah menjadi nyata.[72]
Kekudusan Allah harus nyata dalam tata hidup segenap umat-Nya, baik para imam
maupun rakyat pada umumnya dan sebagailandasan dalam mencapai kekudusan adalah
kekudusan Allah yang dianugerahkan-Nya kepada setiap orang yang percaya, tanpa
anugerah Allah maka tidak ada seorangpun yang telah kudus adanya selain Allah.[73]
Hukum kekudusan yang
telah diberikan kepada bangsa Israel bertujuan untuk menunjukkan “keterpisahan”
bangsa Israel dengan bangsa lain. Dengan demikian Hukum kekudusan langsung
diberikan untuk alasan-alasan fisik bangsa Israel, bukan sebagai prinsip moral,
melainkan sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah. Akhirnya materi dari cerita
Kitab Imamat dibentuk pada sebuah cara hukum yang kekal. Tidak ada indikasi
yang terdapat dalam bentuk kanon tersebut yang menyatakan bahwa Hukum kekudusan
dalam Kitab Imamat dimengerti sebagai suatu idealisme atau suatu kepatuhan atas
respon terhadap hukum yang telah diterima.
Kehidupan sosial ekonomi bangsa Israel di Pembuangan harus diikuti
oleh kekudusan itu. Dalam perdagangan tidak boleh ada penipuan, tidak boleh
mencuri hak-hak orang lain, tidak boleh mengucapkan saksi dusta, tidak boleh
menghina orang-orang lemah dan lain-lain. Semua norma-norma kehidupan tersebut
menjadikan bangsa Israel sebagai bangsa yang “kudus” (dalam arti yang terpisah,
dikhususkan atau berbeda dengan bangsa Babel) oleh karena Yahweh juga kudus.
Panggilan untuk menjadi kudus mengajak Israel untuk membedakan antara yang
kudus dengan yang tidak kudus, antara yang nasjis dan tidak najis. Itulah
sebabnya sesuatu yang tidak najis atau tahir menurut peraturan agama, boleh
dipakai untuk beribadat kepada Allah, sedangkan sesuatu yang najis tidak boleh.[74]
c.
Syarat-syarat
menjadi bangsa yang kudus (ay. 3 – 4)
Dalam
Im.19:1-4, hukum taurat kelima
disebut pertama yaitu perintah untuk menyegani ibu dan ayah. Kata menyenangi memiliki makna ‘harus’. Kata ini memiliki arti, bahwa
suatu keharusan untuk menghormati Ibu dan Ayah. Hormat kepada ibu ditonjolkan
dalam ayat ini. Hanya ada beberapa teks dalam Perjanjian Lama yang mendahulukan
Ibu (bnd. Im. 20:19; 21:2).[75] Dalam
King James Version kata ‘menghormati’
diterjemahkan dengan fear (takut).
Pengertian takut disini bukanlah karena ibu dan ayah itu menyeramkan, melainkan
karena posisi merekalah sebagai wakil Allah di dunia ini. Tidak menaati orang tua
merupakan karakteristik dari orang yang memberontak pada Allah. Orang tua
dituntut untuk mendidik anaknya, karena itu mereka sendiri harus hidup dalam
Tuhan, belajar firman Tuhan, dan melakukan firman Tuhan. Dan hal ini berkaitan
dengan tunduknya anak pada orang tua. Dengan kata lain, anak harus taat pada
orang tua.
Allah menginginkan agar
kekudusan-Nya itu diakui dan dihormati. Oleh karena itu dalam rangka
menghormati dan mengakui kekudusan Allah, yang diperlukan adalah takut dan taat akan Allah. Dalam Im. 19:1-4 dapat dilihat peraturan berupa
perintah dan larangan yang menuntut ketaatan; “menghormati ibu dan ayah,
memelihara sabat, jangan berpaling pada berhala dan jangan membuat patung”[76].
Perintah dan larangan tersebut harus dipahami dalam rangka pengudusan.
Menghormati ibu dan ayah dalam hal ini perlu, sebagai orang yang paling dekat
dalam keluarga. Luther[77]
mengatakan bahwa Allah memilih ibu dan ayah untuk menempatkan mereka melebihi
semua orang lain di dunia ini dan hampir sama pentingnya dengan diri-Nya.
Menghormati berarti lebih dari pada sekedar mengasihi. Menghormati tidak hanya
meliputi kasih; hal itu juga berarti sopan, rendah hati dan seolah-olah
menghargai raja, yang tersembunyi dalam diri orang tua. Itulah sebabnya dengan
sikap hati dan tubuh setiap orang harus menunjukkan bahwa menjunjung dan
menganggap mereka memiliki kedudukan tertinggi dibawah Allah.
Selain menghormati ibu dan ayah,
memelihara hari-hari sabat juga adalah suatu keharusan. Hal ini menjadi sangat
penting mengingat keadaan keagamaan di Babel. Sinkritisme menjadi suatu
tantangan bagi agama Yahweh. Dewa Marduk seolah menjadi lebih kuat daripada
Yahweh setelah kehancuran Yerusalem. Hal ini menyebabkan sebagian orang-orang
Yehuda menjadi ragu atas Yahweh dan percaya kepada dewa-dewa Babel. Sebab tidak
mungkin lagi mereka beribadah di bait suci. Untuk tetap mempersatukan agama
kelompok Yahweh dipembuangan maka perlu ada suatu persekutuan mereka yaitu
dengan beribadah setiap Sabat. Sabat menjadi sangat penting, Oleh karena itu,
siapapun yang tidak beribadat pada hari Sabat secara efektif menyangkal Allah
sebagai pencipta dan secara simbolis menolak keselamatan dan anugerah-Nya.
Orang yang melanggar sabat berarti melanggar perjanjian dengan Allah, dan
seperti yang Allah perintahkan, dia harus dihukum mati (Kel. 31:14).
Sebagaimana Orang-orang
yang di Pembuangan tidak mungkin lagi melanjutkan penyembahan kepada Yahweh
seperti yang pernah dilakukan di Jerusalem. Beberapa dari orang-orang Yehuda
kelihatan ingin menyembah batu atau pohon seperti yang dilakukan oleh
bangsa-bangsa lain, yang mungkin mereka tiru dari kebiasaan bangsa Babel. (Yeh.
20:32). Selain itu ada kecenderungan untuk membentuk dewa-dewa tuangan dengan
tujuan memperoleh berkat darinya. Itulah sebabnya dalam ay. 4 dianyatakan suatu
larangan untuk tidak berpaling kepada berhala-berhala (elilim)[78].
Dalam bahasa Ibrani makna kata ini adalah “hal-hal yang tidak ada”. Oleh karena
itu tidak ada guna untuk berpaling kepada dewa-dewa untuk beribadah kepadanya,
sebab perbuatan itu hanyalah sia-sia, tidak berguna.[79]
Secara tidak langsung larangan dalam ay. 4 ini menyatakan bahwa dewa-dewa yang
ada di pembuangan (dewa-dewa Babel) tidak berguna, oleh karena itu tidak perlu
beribadah kepadanya. Ayat ini juga menyatakan bahwa kepada Yahwehlah harus
beribadah. Berulang kali diuangkapkan dalam setiap akhir peraturan dengan
menyatakan, “Akulah TUHAN, Allahmu”.
Hal ini bertujuan agar Isarel mengingat bahwa Yahweh pernah menyelamatkan
mereka dari Mesir (Im.19:36). Pemahaman “Akulah
TUHAN, Allahmu” juga menunjuk kepada keadaan bangsa Israel di Pembuangan.
Dewa Marduk yang kelihatan lebih kuat memungkinkan kepercayaan kepada Yahweh
akan hilang. Untuk itu penggunaan kata tersebut mendapat penekanan bahwa Yahweh
tetap “ada” dan Ia tetap Allahnya
Israel. Oleh karena itu harus tetap beribadah kepada-Nya dan tidak boleh
berpaling kepada dewa-dewa apalagi membuat dewa-dewa tuangan. Membuat dewa
tuangan berarti menunjuk kepada patung-patung yang mewakili TUHAN. Umat Israel
dilarang keras memakai patung-patung demikian dalam ibadah, apakah dibuat dari
logam, batu atau kayu.[80]
Bangsa Yehuda diberi
dorongan untuk tetap teguh dalam kehidupan rohani mereka walaupun berada
ditengah-tengah orang-orang asing di Pembuangan. Selain hari Sabat setiap
minggunya, dalam pasal 23 dapat dilihat ringkasan mengenai peristiwa hari-hari
raya, yang terjadi antara bulan pertama dan bulan ketujuh. Semua hari-hari raya
ini disebut sebagai ‘hari raya yang kudus’ (23:2-4, 7, 8, 21, 27, 35, 37).
Tahun Sabat dan tahun Yobel (pasal 25) juga dirayakan. Setiap tujuh tahun Sabat
diperingati dan sekali dalam 49 tahun atau tahun ke 50 diperingati tahun Yobel
yang membawa kebebasan (25:10). Tahun Sabat diperingati mengingat Im. 19:18, “Kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri” sebagai ringkasan dari keseluruhan hukum itu. Menunjukkan kebaikan
hati kepada sesama manusia dan mempedulikan orang miskin dan orang asing adalah
ciri dari umat Allah.[81]
Pasal 24 adalah mengenai minyak untuk lampu yang ada di depan tabir (1-4) dan
roti untuk Harun dan anak-anaknya (5-9). Setelah itu dilanjutkan dengan hukuman
Lex Talionis bagi penghujat nama Allah.
Orang yang setia kepada hukum-hukum yang
telah ditetapkan akan memperoleh janji berkat, demikian sebaliknya ancaman
kutuk terhadap orang yang tidak melakukan perintah Allah (pasal 26). Pasal 27
merupakan tambahan yaitu mengenai nazar.
Salah satu hal yang sangat penting bagi kehidupan bangsa
Israel dalam pembuangan adalah dituntut untuk tetap kudus. Mereka dituntut
untuk tidak terbawa arus agar tidak kehilangan identitas mereka yang telah
terpelihara lama yaitu sebagai bangsa pilihan Allah. Keyakinan mereka
menyatakan bahwa pembuangan ke Babel merupakan penghakiman Yahweh atas bangsa
Israel, sebab sebelum pembuangan juga atau setelah kematian Yosia bangsa Israel
banyak yang telah meninggalkan Yahweh dan memuja dewa lain. Itulah sebabnya
bangsa Israel mulai terbagi-bagi dalam beberapa kelompok yaitu dalam hal
kepercayaan di Pembuangan.
[82]
Orang-orang Israel di pembuangan sangat tidak mungkin
untuk melakukan ibadah seperti yang pernah dilakukan di Yerusalem. Oleh karena
itu mereka ingin menyembah pohon atau batu seperti yang dilakukan oleh
bangsa-bangsa lain, hal ini mungkin mereka tiru dari kebiasaan bangsa Babel.
Namun hal ini segera diprotes oleh nabi Yehezkiel (Yeh. 20:32). Dengan demikian
Penyembahan terhadap Yahweh masih tetap dipelihara oleh sebagian orang-orang
yang ada di pembuangan, walaupun mereka tidak dapat melakukan Ibadah
sebagaimana seperti di Yerusalem. Yehezkiel menekankan ibadah untuk kemurnian
sebagai suatu cara untuk mencapai kekudusan itu.
Memelihara sabat harus
juga dipahami dalam rangka pengudusan umat. Kekudusan hari Sabat dijaga oleh
karena Allah mengasingkan hari ketujuh sebagai hari milik-Nya[83]
serta “menguduskanya”, menyatakan sebagai hari yang kudus. Allah memerintahkan
kepada umat-Nya supaya “memelihara” dan “menguduskan” hari itu sebagai hari
perhentian; itu berarti bahwa Ia mengikutsertakan umat-Nya di dalam sikap dan
perhentian-Nya sendiri.[84]
Dengan menguduskan hari Sabat, umat itu telah menguduskan diri sendiri; “itulah
tanda antara kamu dan Aku turun-temurun sehingga kamu tahu, bahwa Akulah TUHAN
yang menguduskan kamu” (Kel. 31:13).
Ketaatan di tekankan
sebagai perintah Allah bila umat-Nya ingin menikmati kemurahan-Nya (Kel. 19:5).
Ketaatan dalam hal ini adalah mematuhi hukum-hukum-Nya, dan ketaatan kepada
hukum-hukum harus dipahami dalam rangka pengudusan. Larangan beribadat kepada
allah lain merupakan penekanan dari hukum Allah yang berulang-ulang ditemukan
dalam PL[85].
Dengan larangan ini Allah “menguduskan” umat-Nya, mengikutsertakan umat untuk
turut serta di dalam pekerjaan-Nya. Beribadah kepada Allah hanya dapat terjaga
hanya dengan ketaatan iman. Sebab itu iman sejati terus-menerus berusaha untuk
mengikat diri pada Allah sebagai satu-satunnya jaminan hidup. Itulah sebabnya
larangan untuk beribadah kepada allah-allah lain merupakan perjuangan
eksistensial dalam setiap orang, yang melawan segala macam ikatan lain dan
harus meneguhkan monoloyalitas kepada
TUHAN.
Larangan untuk
menyembah allah-allah lain disertai dengan dua alasan.[86]
Pertama: Allah adalah cemburu, artinya; bukan iri hati melainkan terlibat, berjuang untuk milik-Nya, entah dengan
memeliharanya, entah dengan menghukumnya. Alasan kedua: Allah menuntut ketaatan terhadap perintah-perintah-Nya
(hal itu berlaku untuk semua hukum). Hukuman
kolektif bagi ketidaktaatan sesuai
dengan alam pikiran seluruh PL: orang berhadapan dengan Allah tidak seorang
diri melainkan dalam kebersamaan umat Allah dan kebersamaan sejarah
keselamatan.
Larangan membuat patung
yang juga terdapat dalam dekalog (Kel. 20:4, Ul. 5:8). Larangan ini menegaskan
larangan yang sebelumnya yaitu, larangan beribadat kepada allah lain. Memuja
atau menyembah patung saja tidak diperbolehkan apalagi membuat atau mendirikan patung? Inilah yang dilarang oleh hukum
Allah, dilarang di dalam lingkungan umat TUHAN. Dan bukan hanya pembuatan
patung-patung yang menggambarkan allah-allah asing “disamping Allah” saja yang
terlarang, tetapi membuat dan mendirikan patung-patung yang menggambarkan TUHAN
sendiri sebagai pertanda kehadiran Allah pun tidak boleh (bnd. Kel. 32).[87]
Larangan beribadat
kepada allah-allah lain didasarkan atas kecemburuan
TUHAN: dengan kekudusan-Nya yang
serentak juga memustahilkan ibadat orang Israel kepada allah “di samping”
TUHAN. Membuat dan mendirikan patung itu berarti mau menguasai Allah, mau menjamin
kehadiran-Nya selaku Allahnya orang Israel, padahal Dia bebas dan berdaulat
untuk menyatakan diri-Nya hadir menurut kesukaan-Nya sendiri. Larangan membuat
patung dihubungkan dengan penyembahan terhadap TUHAN sendiri. Bangsa Israel
dilarang untuk membuat patung TUHAN, sebab TUHAN bukan semacam kuasa alamiah
yang boleh dipusatkan manusia pada tempat tertentu. Allah adalah “Yahweh”,
yaitu Allah bagi umat-Nya, yang sendiri mengikuti perjalanan umat. Larangan
membuat patung memberi jaminan bahwa manusia dengan ketaatan penuh menyembah
Allah. Bukan hanya monoloyalitas saja pada Allah tetapi menyembah Allah dengan
segenap hati, segenap jiwa dan seluruh hidup.
3.4.2. Scopus
Bangsa yang kudus ialah bangsa yang dipisahkan oleh Allah
dari cara hidup bangsa-bangsa yang lain. Mereka tidak memiliki cara hidup
seperti bangsa-bangsa itu. Inilah yang Tuhan rindukan bagi setiap kita
umat-Nya, Dia rindu untuk kita menjadi bangsa yang kudus. Hidup tidak seperti
orang-orang yang ada di dunia ini. Inilah standart hidup yang Tuhan berikan
bagi kita umat-Nya, karena itu, kekudusan menjadi sesuatu yang sangat mutlak
harus kita miliki dalam kehidupan kita. Standart yang dimiliki umat Tuhan
harus menjadi standart hidup bagi dunia ini, jangan terbalik! Gereja harus
membawa nilai-nilai kerajaan Allah ke dalam semua aspek kehidupan di dunia ini,
bukan nilai-nilai dunia dibawa masuk kepada Gereja.
BAB
IV
BANGSA
YANG KUDUS
(Suatu Refleksi bagi Kehidupan Masa Kini)
4.1
Gereja
Sebagai Umat yang Kudus
Sebagaimana dalam bab
sebelumnya, pemahaman mengenai ajaran kekudusan yang menjadi inti pokoknya
bukanlah pada masalah moral melainkan masalah “status”, tindakan moral hanyalah
sebagai konsekwensi dari kekudusan itu. Kekudusan Allah menurut kitab Imamat
menunjuk kepada “status” Allah. Kekudusan dalam hal ini memiliki arti terpisah. Allah terpisah menjadi sangat jauh di atas dan di
luar manusia, bahkan hampir kelihatan sebagai “sesuatu yang asing” bagi manusia. Menjadi kudus adalah menjadi
'lain,' menjadi berbeda dalam suatu cara yang khusus. Demikian halnya
bangsa Israel menjadi kudus bukan karena perbuatannya atau tindakan moral yang
membuat sehingga mereka menjadi kudus tetapi karena bangsa itu “dipisahkan”, “dikhususkan” bagi Allah.
Dengan demikian Bangsa Israel ditetapkan menjadi
bangsa yang kudus bukan karena apa yang mereka miliki, atau apa yang mereka
perbuat tetapi karena mereka milik Allah. TUHAN, Allah Israel, bukanlah seperti
allah-allah lain, Allah yang misteri dikenal dengan nama yang misterius, “AKU
adalah AKU ADA” (hy<+h.a,( rv<åa] hy<ßh.a,(, e|hyè ´ášer ´e|hyè). Nama ini memberikan pengertian bahwa tidak ada yang
seperti Dia. Dia adalah kudus, terpisah dari segala sesuatu yang ada. Itulah
sebabnya umat-Nya juga harus “terpisah” dengan peraturan dan
kebiasaan dari orang lain.[88] Dari pemahaman tersebut, kekudusan
umat menyatakan “status” yaitu sebagai bangsa milik Allah. Oleh karena itu
bangsa Israel sebagai bangsa yang kudus dituntut untuk memelihara “status”
tersebut. Berdasarkan pemahaman Im. 19:1-4 ada empat pokok yang telah dibahas
sebelumnya dalam pemeliharaan kekudusan, yaitu: “menghormati ibu dan ayah,
memelihara sabat, larangan menyembah illah-illah dan larangan membuat membuat
illah-illah”. Keempat pokok tersebut dipahami dalam rangka pemeliharaan
kekudusan. Namun perlu diketahui bahwa pemeliharaan kekudusan tidak hanya pada
keempat pokok itu saja melainkan di dalam ayat selanjutnya pemeliharaan
kekudusan itu terlihat dalam aturan-aturan moral.
Berdasarkan pemahaman ini ajaran tentang
kekudusan dalam kehidupan umat Allah memiliki posisi utama dalam kehidupan
keagamaan dan kesehariannya. Selanjutnya, melalui pemahaman tersebut akan dapat
menolong bagaimana memahami makna kekudusan dalam kehidupan Kristen. Mengapa kita mesti
hidup kusus? Karena Allah itu sendiri Kudus adanya. Pertanyaannya sekarang
adalah, bagaimana hidup kita bisa mengarah kepada kekudusan itu? Sebab di dunia
yang kita diami banyak sekali godaan, yang sering kali membuat kita hampir terpeleset.
Dunia ini mempunyai standard tersendiri tentang apa itu kekudusan. Allah itu
kudus, Alah tidak menuntut kita untuk menjadi maha tahu, maha kuasa seperti
Dia, namun ada satu hal yang penting di sini, Allah mengajak kita mengambil
bagian di dalam kekudusan-Nya, sehingga kita dapat menjadi sama seperti-Nya
(Ibranai 12:10). Kekudusan yang dituntut Allah terhadap diri kita bukan sekadar
pemindahan dari posisi dunia duniawi ke dunia rohani; namun lebih dari tu harus
secara Alkitabiah yakni standard kekudusannya bukan melalui penglihatan manusia
saja, namun itu semata-mata tuntutan Tuhan. Bayangkan saja apabila standard
kekudusan itu berdasarkan pemikiran manusia, maka akan timbul penilaian yang
tidak obyektif.
Orang Kristen juga
adalah umat Allah yang disebut dengan ekklesia
tou theou, yaitu orang-orang yang percaya dan bersekutu di dalam dan oleh
Kristus maka orang Kristen juga adalah kudus. Itulah sebabnya gereja disebut
dengan persekutuan orang-orang kudus. Sebagaimana umat Allah di pembuangan
memelihara ajaran kekudusan, demikian halnya dengan orang Kristen memelihara
ajaran kekudusan. Dengan demikian ajaran kekudusan janganlah kiranya dipahami
hanya sebatas historis saja melainkan kekudusan juga harus dipelihara dalam
masa kini juga untuk masa yang akan datang. Permasalahanya sekarang adalah
bagaimana orang Kristen dalam memahami kekudusan? Apakah tetap menunjuk kepada
“status”? atau pencapaian kekudusan melalui tindakan moral?
Orang Kristen adalah orang yang dipilih dan dipisahkan Tuhan
di dalam Kristus untuk melayani Tuhan. Kita dipisahkan untuk menjadi serupa
dengan Anak-Nya, Yesus Kristus. Kita dipisahkan dari dunia untuk hidup kudus
seperti Tuhan yang adalah kudus. Identitas orang Kristen dinyatakan melalui
kekudusan hidupnya. Setiap orang Kristen yang sudah lahir baru akan membenci
dosa, meninggalkan jalan hidupnya yang lama, dan mencintai kekudusan Tuhan.
Seluruh hidupnya hanya dikuduskan untuk melakukan apa yang menjadi rencana dan
kehendak Tuhan baginya.
Orang-orang yang ditebus Tuhan masuk ke dalam persekutuan di
dalam Kristus (union with Christ). Melalui iman, setiap orang percaya
mengalami pembenaran dan pengudusan di dalam persekutuan dengan Kristus. Calvin
melihat pembenaran dan pengudusan sebagai dua dimensi dari satu aspek, atau dua
sisi dari satu mata uang. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Setiap orang yang
dipilih Tuhan mengalami pengudusan. Kita dikuduskan untuk dipisahkan dari dunia
untuk menjadi alat kekudusan Tuhan di tengah-tengah dunia yang berdosa.
Our union with Jesus not only obliges us to keep a
distance from the disposition and profane fashions of the men whose portion is
in this earth, and to consecrate ourselves wholly for the Lord’s use in the
study of holiness, but likewise it does really make believers a holy people.[89]
Kekudusan bukanlah
tujuan dalam kehidupan orang Kristen tetapi yang perlu bagaimana orang Kristen
memahaminya sehingga kekudusan tetap terpelihara. Ada beberapa aliran Kristen
yang menjadikan kekudusan sebagai tujuan. Misalnya aliran Pietisme yang
memahami kekudusan itu dapat diperoleh oleh karena perbuatan.
Penekanan utama ajaran
Pietisme[90]
terletak pada segi praktis iman. Praktek kesalehan (Praxis pietatis) sangat penting untuk Pietisme. Perhatian untuk
pengudusan atau penyucian hidup sebagai tindak lanjut untuk pembenaran orang
berdosa. Ciri Praxis pietatis antara
lain bahwa orang-orang Pietis cenderung menjauhkan diri dari kehidupan duniawi.
Sering kali dikatakan bahwa mereka melarikan diri dari pergaulan masyarakat.[91]
Oleh karena itu, orang-orang Pietis suka berkumpul dalam kelompok-kelompok
kecil, yang terdiri dari orang-orang sehati dan sejiwa untuk bersama-sama
menghayati dan memperdalam iman pribadi
dalam suasana bebas dan spontan yang tidak terdapat dalam kebaktian-kebaktian
resmi.[92]
Dalam mencapai kekudusan, Pietisme tidak mau melibatkan diri dengan masalah-masalah
dunia, sebab dunia dinggap sebagai suatu tempat yang berlumur dosa.
Tempat-tempat hiburan dan tempat rekreasi selalu dijauhi. Perhatian mereka
hanya diarahkan ke sorga atau dunia setelah kematian. Dengan demikian, mereka
sama sekali menolak untuk berkarya di bidang politik, sosial dan ekonomi, dll.[93]
Pemahaman kekudusan
berdasarkan hukum kekudusan dalam kitab Imamat bukanlah seperti yang dipahami
oleh kaum Pietisme. Bangsa Israel yang berada di pembuangan tidak pernah
dilarang untuk melibatkan diri dengan masalah-masalah dunia, seperti masalah
politik, sosial, ekonomi, dll. Bahkan sebaliknya, sebagai umat yang kudus,
bangsa Israel dibebaskan untuk berkarya di Babel baik dalam bidang politik,
sosial maupun ekonomi. Namun dalam menjalankan kegiatan tersebut, bangsa Israel
dituntut untuk menjaga kekudusannya. Melalui hukum-hukum kekudusan bangsa
Israel selalu diingatkan statusnya sebagai bangsa yang di khususkan bagi Allah.
Dalam hal ini pemahaman tentang kekudusan bukan hanya untuk kejadian pada masa
lampau tetapi juga untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Sebagaimana
bangsa Israel terpisah dalam arti dikhususkan untuk Allah demikian juga umat
Kristen.
4.2
Gereja
dalam Memelihara Kekudusan
Pemeliharaan kekudusan
di pembuangan menjadi suatu ajaran yang terpenting bagi umat Israel. Hal ini
dilakukan berdasarkan latar belakang bangsa itu di tanah airnya (Yehuda)
melalaikan kehidupan beragama, sehingga mengakibatkan mereka terbuang ke Babel. Kehidupan keagamaan ketika di Yehuda hanya
rutinitas saja dan kehidupan sosial terlupakan. Selain itu pembuangan ke Babel
mengakibatkan bangsa itu terancam akan sinkritisme. Dewa Marduk seolah lebih
kuat daripada Yahweh. Itulah sebabnya bangsa Israel di pembuangan mengalami
krisis keagamaan.
Dalam menghadapi
tantangan yang demikian pengajaran kekudusan melalui hukum-hukum kekudusan dibuat untuk
memperbaharui kecerdasan spritual dan kecerdasan moral bangsa Israel. Peranan
imam menjadi sangat penting di Pembuangan oleh karena raja tidak ada lagi
seperti di Yehuda sebelumnya. Imam memiliki tanggung jawab yang besar sebagai
lembaga yang menstabilkan keadaan bangsa Israel. Taurat Musa yang mendapat
penguraian yang lebih luas di dalam hukum-hukum kekudusan menjadi anggaran
dasar untuk penataan kembali masyarakat itu. Kebijakan di bidang agama, sosial,
dan ekonomi sekarang ditetapkan berdasarkan Hukum-hukum kekudusan. Dengan
demikian peraturan-peraturan yang ada dalam hukum-hukum kekudusan menjadi
pengatur kehidupan dalam rangka pemeliharaan kekudusan umat dan kekudusan Allah
di pembuangan. Bangsa Israel harus dapat menunjukkan bahwa mereka adalah bangsa
yang kudus di tengah-tengah bangsa Babel yang terdapat banyak agama.
Bangsa Israel di
pembuangan harus konsisten kepada ajaran kekudusan untuk memperbaharui keadaan
mereka. Oleh karena itu para tokoh agama bangsa itu harus bekerja keras tidak
hanya dalam keadaan agama tetapi dalam setiap segi kehidupan. Demikianlah para
tokoh agama bangsa Israel menjunjung tinggi pemeliharaan kekudusan di
pembuangan. Sekarang, ditengah-tengah zaman modernisasi ini, bagaimana peranan
gereja dan para pendeta dalam memelihara kekudusan Kristen? Apa yang telah
diberikan gereja kepada jemaat untuk memelihara kekudusan?
Sebagaimana peraturan-peraturan
dalam hukum-hukum kekudusan diperlukan dalam bangsa Israel, gereja juga
memberikan peraturan-peraturan dalam menjaga kekudusan jemaat. Gereja-gereja di
Indonesia, khususnya gereja yang tergabung dalam PGI (Persekutuan Gereja-Gereja
Indonesia) memiliki hukum gereja yang disebut dengan Peraturan Rumah Tangga
Gereja dan Siasat Gereja. Melalui hukum gereja ini gereja dapat menyalurkan dan
mencerminkan kasih Kristus kepada manusia, khususnya kepada warga gereja yaitu
dalam mengatur dan mengendalikan gereja sesuai dengan kehendak Kristus sebagai
kepala gereja. Hukum gereja disini adalah segala peraturan dan penetapan yang
digunakan gereja untuk menata atau mengatur
pelayanannya di dunia, supaya orang-orang yang sudah tersesat itu
dipanggil kembali kepada persekutuan dengan Yesus dan jemaatnya (bnd.
Mat.18:15-18). [94]
Gereja Kristus, kudus
adanya karena Yesus itu sendiri adalah kudus. Oleh karena itu untuk menjaga
kekudusan Gereja sebagai tubuh Kristus, maka diadakan siasat Gereja untuk
menasihati dan menegor anggota jemaat yang bersalah atau yang berdosa. Gereja
harus tetap melawan dosa yang diperbuat oleh anggota jemaatnya. Dengan demikian
“Peraturan Rumah Tangga Gereja dan Siasat Gereja” harus dapat dipahami sebagai
pemeliharaan kekudusan di tengah-tengah zaman modernisasi ini. Melalui hukum
ini kehidupan jemaat diharapkan dapat teratur. Dalam pelaksanan siasat Gereja,
diharapkan adanya komunikasi langsung kepada orang-perorangan yang dikenai
siasat Gereja. Dalam hal ini maksud dan tujuan berbicara langsung bukan berarti
membeberkan kejahatan, mempermalukan atau menghinanya melainkan untuk
menasihati, menuntun dan membimbingnya agar sadar dan insyaf akan perbuatannya.
Dengan kata lain bukan untuk menghakiminya melainkan untuk memberitahukan kepadanya
bahwa Allah adalah kudus oleh karena itu umat-Nya juga kudus. Orang Kristen
diharapkan benar-benar “dikhususkan” bagi Allah. Inilah yang dimaksud dengan
siasat Gereja atau dalam bahasa Batak Toba disebut dengan “Ruhut Paminsangon di
Huria”[95].
Tujuan Ruhut Paminsangon dalam gereja yang dibutuhkan bukan hukuman melainkan
penggembalaan. Dengan demikian Ruhut
Parmahanion dohot Paminsangon (RPP) adalah suatu hukum yang dijalankan untuk
menggembalakan dan menegor jemaat yang bertentangan dengan kekudusan Gereja.[96]
Hukum gereja tidaklah
cukup dalam pemeliharaan kekudusan tetapi juga peranan para pelayan gereja
(Pendeta, Guru Jemaat, Bibelvrow, Diakones, Sintua, Evangalis dll)
ditengah-tengah jemaat. Para pelayan geraja harus dapat menjadi contoh bagi
jemaat dalam kehidupan keseharian. Hal itu dapat dilakukan hanya dengan
kepedulian para pelayan terhadap jemaatnya. Gereja harus kelihatan dalam
pembangunan spritual jemaat bukan bangunan fisik saja. Pembangunan Spritual
sangat perlu dilakukan dalam hal pembinaan-pembinaan kepada jemaat, agar
pemeliharaan kekudusan tetap terjaga. Melalui kegiatan-kegiatan seperti itu
kekudusan orang Kristen akan terjaga dan juga akan kelihatan bahwa orang
Kristen adalah umat yang kudus; “dikhususkan untuk Allah”.
Para pelayan gereja
tidak hanya berhenti sampai di situ saja melainkan juga berdoa untuk jemaatnya.
Dalam PB Paulus berdoa supaya Allah menguatkan hati jemaat supaya tak bercacat
dan kudus di hadapan Allah pada waktu kedatangan Yesus Kristus. Paulus ingin
agar kekudusan jemaat tetap terpelihara. Tak bercacat dan kudus mengandung arti
dipisahkan bagi Allah, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Etika hidup yang tinggi semacam inilah yang dituntut dari
orang Kristen. Penyerahan diri orang Kristen kepada Allah harus sempurna dan
sepenuh hati. Paulus berdoa supaya mereka tidak
bercacat apabila Kristus datang sebagaimana dinyatakan dalam I Tesalonika
4:13-17. Kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali merupakan dorongan yang kuat
untuk pemeliharaan kekudusan (I Yohanes 3:3).
Orang Kristen
seharusnya bukan hanya terlihat kudus di tengah-tengah zaman modernisasi ini
tetapi juga ditengah-tengah pluralitas agama. Orang Kristen tidak hanya untuk
dirinya sendiri tetapi juga bagi agama lain. Sebagaimana bangsa Israel di
pembuangan mampu hidupa bersama-sama dengan bansga-bangsa di Babel yang
memiliki keadaan agama yang berbeda-beda, demikianlah juga orang Kristen mampu
menjalin hubungan dengan agama lain ditengah-tengah pluralitas agama. Orang
Kristen harus bersifat inklusif, dialogis dan terbuka sebagaiman visi gereja
HKBP.
Melihat kenyataan yang
ada identifikasi agama dan kebudayaan, disatu pihak, dan kolusinya dengan
kekuasaan politik, di lain pihak, tampaknya telah membuat agama menjadi
eksklusif dan arogan. Agama menjadi lebih keras dan kaku dalam memperlihatkan
“identitas”-nya, khususnya dalam rangka pertemuanya dengan tradisi-tradisi
religius lain.[97]
Walaupun demikian agama Kristen di tengah-tengah pluralitas agama tetap harus
mampu mempertahankan identitasnya sebagai umat Allah yang kudus.
Kehidupan bangsa Israel
di masa lalu di pembuangan juga mengalami tantangan di tengah-tengah banyaknya
kepercayaan kepada dewa-dewa. Tetapi pada masa itu bangsa Israel masih tetap
menjaga identitas mereka sebagai bangsa pilihan TUHAN yang kudus. Keagaaman
Israel tetap bertumbuh dalam ruang
lingkup ajaran-ajaran keagamaan di pembuangan. Sebagai bangsa pilihan TUHAN
mereka tetap beribadah kepada Yahweh. Tantangan sinkritisme menjadi suatu
masalah bagi bangsa itu tetapi hal itu dapat diatasi dengan hukum-hukum
kekudusan. Oleh karena itu orang Kristen juga harus memelihara kekudusannya
ditengah-tengah berbagai agama.
4.3. Pendeta
Sebagai Imam dalam Menjaga Kekudusan.
Seorang
pendeta menerima pendidikan teologi secara formal di seminari. Pengalamannya
selama menekuni teologi membentuk kepribadiannya kelak sebagai seorang pendeta.
Bahkan lingkungan hidup seminari, karena biasanya hidup berasrama, sangat
dominan mempengaruhi perkembangan wawasan, intelektualitas dan kehidupan
spiritualitasnya. Pada
hakekatnya kependetaan itu harus dilihat melalui spiritualitasnya. Spiritualitas
disini dimaksudkan dengan arti yang seluas-luasnya. Dalam artian, spiritualitas
merupakan hubungan pribadi seorang beriman dengan Allah dan aneka perwujudannya
dalam sikap dan perbuatan. Spiritualitas mencangkup seluruh kehendak orang
beriman dan tampak sebagai “buah Roh” dalam ibadah, kegembiraan rohani,
pengorbanan dan pelayanan terhadap sesama. Spiritualitas mempunyai akarnya pada
keteladanan Yesus, yakni: ketaatan yang total kepada Allah dan kepedulian yang
eksistensial kepada manusia. Dari kata-kataNya yang tercatat pertama kali di
Bait Allah, “tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah
Bapa-Ku?” (Luk. 2:49), sampai kata-kataNya yang terakhir di kay salib, “Bapa,
ke dalam tanganMu Kuserahkan RohKu” (Luk. 23:46), menunjukkan bahwa perhatian
Yesus hanyalah satu, yakni: mengerjakan kehendak BapaNya.
Menurut AP-HKBP (Aturan Peraturan
HKBP) 2002, arti daripelayan tahbisan “partohonan” adalah “ulaon panghobasion
huria na diampehon tu sahalak parhobas marhitehite pamasumasuon hombar tu
agenda HKBP”.[98]
Rumusan ini berlaku kepada pemahaman “tohonan” yang lain di HKBP seperti guru
huria, bibelvrouw, diakones, evangelis dan sintua. Di gereja-gereja Protestan
secara umum dan khususnya HKBP cukup jelas perbedaan pelaksanaan penahbisan
terhadap seorang pendeta dengan jabatan tahbisan lainnya. Penahbisan pendeta
dilakukan dengan cara “penumpangan tangan” disertai dengan pembacaan “akta
tahbisan”, yaitu ayat-ayat Alkitab atau rumusan teologis sesuai dengan
“tohonan” tahbisan tersebut (akta tahbisan menurut agenda HKBP: Mat. 28:18-20;
Yoh. 21:15-17; Kis. 20:17-35; 1 Tim. 3:1-7; 2 Tim. 1:5b), yang tidak dilakukan
kepada tahbisan yang lain. Kekhususan jabatan tahbisan pendeta di HKBP sama
dengan di gereja-gereja lain, adalah karena “tohonan hapanditaon i do na
manghamham tohonan ni Kristus na tolu i, i ma Panurirang, Malim dohot Raja”
(AP-HKBP 2002, bindu 25, 1-1, hal. 60). Kekhususan ini menjadi salah satu
prasyarat bagi tohonan atau tahbisan pendeta untuk menyampaikan berkat dengan
cara penumpangan tangan, sementara jabatan tahbisan yang lain di HKBP seperti
guru huria, bibelvrouw, diakones, evangelis dan sintua tidak diperkankan
melakukan pemberkatan dengan cara penumpangan tangan (AP-HKBP 2002, bindu 25,
2.2.3b, 3.3c, 4.3b, 5.3b, 6.3c,)[99]
Dalam Tata Kebaktian Penahbisan
Pendeta, dikatakan bahwa tugas yang diterima seorang pendeta adalah tugas yang
kudus, tugas kudus dimaksud dituangkan dalam tujuh bagian tugas (Poda Tohonan
Pendeta). Dalam menjalankan “tohonannya” pendeta
harus menjadi teladan bagi jemaat yang telah dipercayakan Tuhan kepada mereka,
seperti gembala yang dengan penuh tanggung jawab mengembalakan dombanya,
demikian juga pendeta mengembalakan jemaat dengan penuh tanggung jawab.
Untuk memelihara kekudusan jemaat,
seorang pendeta harus dengan kesungguhan dan sepenuh hati menasehati, menegor
dan memperingatkan jemaat yang menjauh dari persekutuan orang-orang kudus (bnd.
Poda Tohonan point II). Sebab Tuhan akan meminta pertanggung jawaban jemaat
apabila dari antara mereka mati dalam kejahatan tetapi pendeta tidak
mengingatkannya.
Seorang
pendeta adalah seorang panutan, figur teladan, dalam kehidupan rohani dan
jasmani, dalam kehidupan bergereja dan kehidupan masyarakat. Bahkan dalam
pemahaman tentang figur pendeta seperti itu, cara hidup seorang pendeta sering
menjadi model yang ditiru dan diminati warga jemaatnya. Misalnya, cara
berpakaian, penampilan, berbicara dan lain-lain. Akibatnya, figur seorang
pendeta adalah figur yang transparan di mata warga jemaatnya. Ia harus dapat
dilihat dari berbagai sudut pandang. Ia harus dapat dicontoh dari hal-hal kecil
sampai hal-hal yang besar. Ia dan keluarganya bagaikan tinggal di rumah kaca,
yang dapat dilihat dari berbagai penjuru, dalam berbagai suasana, siang atau
malam.
Pendeta juga diberi mandat sebagai
pemengang kunci Kerajaan Sorga, dan karunia mengampuni dosa jemaat dalam nama Yesus. Itu sebabnya
dalam agenda Perjamuan Kudus Pendeta selalu mengatakan pada pelayanan Perjamuan
kudus “berdasarkan Firman Tuhan Yesus aku berkata kepadamu : Yakinlah, dosamu
telah diampuni, dengan Nama Allah Bapa, anak dan Roh Kudus. Artinya
pendeta mempunyai tanggung jawab untuk senantiasa membuat jemaat menjadi umat
Tuhan yang kudus.
BAB
V
KESIMPULAN
5.1.
Kesimpulan
- Kitab Imamat merupakan kitab yang berisi mengenai ajaran kekudusan, oleh karena itulah kitab ini sering disebut dengan kitab Kekudusan. Dalam penulisan kitab ini ditunjukkan bahwa Musa mempunyai peranan utama, hal itu dapat dilihat dengan pengulangan kata, “Tuhan berfirman kepada Musa...”. Figur Musa menjadi penting, dihubungkan dengan teofani di Sinai. Pada waktu itulah Musa menerima ketetapan-ketetapan dan hukum-hukum untuk umat Israel. Kitab Imamat yang juga disebut dengan kitab kekudusan, memuat ajaran kekudusan, ditulis di Pembuangan untuk menunjukkan identitas bangsa Israel sebagai bangsa yang kudus. Hukum-hukum kekudusan (Im.17-26) secara khusus memberikan pengajaran kepada bangsa Israel yang berada di Pembuangan yang mengalami krisis keagamaan. Di tengah-tengah bangsa asing yang juga terdapat penyembahan kepada dewa-dewa, bangsa Israel harus mampu memelihara kekudusan.
- Kekudusan yang dimaksud dalam Im.19:1-4, adalah menunjukkan “keterpisahan”. Allah adalah kudus berarti, Allah “terpisah” dari yang lain (tidak terikat). Segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah adalah kudus karena telah dipisahkan, dikhususkan untuk Allah. Demikian halnya dengan kekudusan umat, bangsa Israel kudus bukan karena mereka berbuat baik atau tidak melakukan dosa, tetapi karena Allah adalah kudus maka bangsa Israel juga harus kudus. Sebagai bangsa yang kudus mereka harus benar-benar “terpisah” artinya lain dari bangsa-bangsa lain. Hal ini disebabkan oleh karena Yahweh juga lain dari dewa bangsa-bangsa lain. Dengan demikian, bangsa Israel sebagai umat Allah harus berbeda dengan bangsa lain dan dituntut untuk tidak berkelakuan seperti bangsa-bangsa lain demi pemeliharaan kekudusan Allah dan kekudusan umat itu sendiri.
Dalam
kekudusan Allah terkandung perintah supaya Israel memisahkan diri dari
bangsa-bangsa lain. Dan hukum-hukum kekudusan dimaksudkan untuk menjamin
pemisahan tersebut. Selain itu pemisahan ini adalah untuk mempersipkan bangsa
itu bagi tugas dan panggilannya yang
mulia diantara bangsa-bangsa di dunia.
- Demikianlah yang dituntut kepada bangsa Israel yang berada di Pembuangan. Mereka dituntut untuk memelihara kekudusan dalam setiap segi kehidupan mereka. Ketika Nebukadnezar menyerang Yerusalem dan menghancurkan bait suci penduduknya dibawa ke pembuangan Babel. Yerusalem dan bait suci yang dianggap sebagai kediaman/tahta Allah dihancurkan oleh Babel disaat bangsa Israel menganggap bahwa Yerusalem dan bait suci tidak akan dapat dihancurkan oleh siapapun. Di tengah-tengah kehancuran itulah mereka mulai pustus asa dan mengalami krisis iman kepada Allah. Akan tetapi di tengah-tengah keputusasaan itu, hukum-hukum kekudusan (Im.17-26) memberikan pentingnya pemeliharaan kekudusan dalam memperbaiki hubungan dengan Allah.
- Dalam Im. 19:1-4, ditunjukkan bahwa pemeliharaan kekudusan dimulai dalam keluarga. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam tindakan menghormati orang tua (ibu dan ayah). Di pembuangan peranan ibu menjadi sangat penting terutama dalam menjaga kesejahtraan serta damai dalam rumah tangga. Itulah sebabnya ibu harus dihormati. Hal ini bukan berarti ayah dinomorduakan tetapi karena dalam situasi ini (masa pembuangan) peranan ibu menjadi penting. Setelah dalam keluarga pemeliharaan kekudusan dihubungkan dengan ibadah. Menguduskan hari Sabat dan tidak menyembah dewa atau membuat dewa tuangan. Semuanya aturan-aturan tersebut itu adalah dalam rangka pemeliharaan kekudusan. Dan hal itu hanya dapat dilakukan oleh karena takut dan taat kepada Allah. Dengan demikian dalam pemeliharaan kekudusan yang diperlukan adalah takut dan taat.
- Bangsa Israel kudus bukan karena perbuatannya, tetapi karena Allah adalah kudus. Oleh karena itu sebaik apa pun manusia bukan hal itu yang membuat dirnya kudus. Melainkan sebaliknya, kekudusanlah yang mendasari manusia berbuat baik. Bangsa Israel di pembuangan dituntut untuk peduli terhadap sesamanya manusia bukan untuk mengejar kekudusan, tetapi karena merekalah bangsa yang kudus (yang dikhususkan untuk Allah) maka mereka harus mengasihi sesamanya (Im 19:18).
- Sebagaimana bangsa Israel di Pembuangan dituntut untuk memelihara kekudusan, demikian juga diharapkan dari orang-orang Kristen pada saat ini. Dengan semakin banyaknya tantangan dan penderitaan yang dialami oleh orang Kristen, ada kemungkinan timbulnya krisis iman. Namun walaupun demikian, hal itu bukan penghalang untuk tetap memelihara kekudusan. Kekudusan akan tetap terpelihara bukan karena “enaknya” hidup tetapi karena mengingat bahwa Allah adalah kudus. Dengan demikian, kekudusan orang Kristen harus tetap terpelihara di tengah-tengah zaman modernisasi yang sarat dengan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi dan juga di tengah pluralitas agama.
7. Pendeta sebagai imam
ia akan merayakan sakramen-sakramen, mempersembahkan kurban kudus kepada Allah
bersama umat dan untuk umat. Ia juga harus senantiasa mempersembahkan diri dan
kehidupannya secara terus menerus kepada Allah dalam persatuannya dengan
Kristus Imam Agung, demi penyucian dan pengudusan diri serta penyucian dan
pengudusan umat Allah yang dipercayakan kepadanya, meskipun kita adalah manusia
yang rapuh, lemah, dan berdosa, dan dengan kemampuan sendiri tidak sanggup
untuk menguduskan diri, dan hanya Allah yang sanggup menguduskan kita. Tetapi
hal itu tidak berarti bahwa seorang Pendeta
dari
dirinya sendiri tidak perlu berusaha mencari kekudusan dalam kehidupan,
kekudusan dirinya, karena imam itu adalah anugerah khusus dan istimewa dari
Allah, martabat yang suci. Maka orang yang menerimanya harus berusaha menjaga
dan memelihara martabat imam itu dengan hidup yang kudus.”
5.2.
Saran
Dengan melihat
dan memahami isi tulisan ini, bahwa kekudusan pada dasarnya adalah menunjukkan
status. Sebagai bangsa yang kudus bangsa Israel “dipisahkan”, “disendirikan”
dari bangsa-bangsa lain. Itulah sebabnya Kekudusan menjadi suatu identitas bagi
bangsa Israel. Demikian halnya orang Kristen memelihara kekudusan. Untuk itulah
gereja berperan dalam mengajarkan pentingnya memelihara kekudusan bagi jemaat.
Dengan demikian orang Kristen akan mengetahui bahwa mereka juga adalah kudus,
karena telah dipisahkan untuk Allah.
Bertitik tolak
dari hal ini maka penulis menyarankan
beberapa hal sebagai berikut:
- Gereja perlu bersungguh-sungguh melaksanakan tri tugas panggilannya (diakonia, marturia dan koinonia). Dengan demikian identitas orang Kristen sebagai umat yang kudus akan kelihatan di tengah-tengah dunia ini.
- Gereja-gereja terpanggil untuk melihat situasi yang terjadi di zaman modern ini. Banyaknya tantangan yang mengarah pada berbagai segi kehidupan menuntut gereja tetap memberikan pengajaran yang semakin komprehansip agar jemaatnya tidak terbawa arus. Artinya orang Kristen tidak akan kehilangan identitasnya sebagai umat yang kudus.
- Sebagaimana para imam memperlengkapi bangsa Israel di Pembuangan untuk tetap memelihara kekudusan, demikian kiranya para pendeta pada zaman sekarang ini memperlengkapi jemaat dengan memberikan pembinaan, pengajaran maupun pelayanan ditengah-tengah gereja, masyarakat dan negara.
- Hukum gereja tidaklah cukup dalam pemeliharaan kekudusan tetapi juga peranan para pelayan gereja (Pendeta, Guru Jemaat, Bibelvrow, Diakones, Sintua, Evangalis dll) ditengah-tengah jemaat. Para pelayan geraja harus dapat menjadi contoh bagi jemaat dalam kehidupan keseharian. Hal itu dapat dilakukan dengan sikap peduli kepada jemaatnya melalui pelayanannya di tengah-tengah jemaat.
- Dalam memperlengkapi jemaat gereja perlu menekankan bahwa kekudusan bukan di peroleh oleh karena perbuatan tetapi kekudusanlah sebagai dasar moral. Dengan demikian gereja perlu mengajarkan, bahwa orang Kristen sebagai umat yang kudus harus peduli terhadap sesamanya manusia.
[1]
Rudolf Otto, The Idea of the Holy,
(Australia: A Pelican Book, 1959), hlm. 26
[2]
Andrew E. Hill & John H. Walton,
Survei Perjanjian Lama, (Malang :
Gandum Mas, 2008). hlm. 193
[3]
Rudolf hlm. 617
[4] Etienne Charpentier, Bagaimana Membaca Perjanjian Lama, (Jakarta:BPK-Gunung Mulia,
1991), hlm. 93
[6] Jacob
Milgrom, Leviticus 1-16, A New Translation with Introduction and Commentary,
(New York: The Anchor Bible, 1991), hal.731.
[7]
W.R.F Browning, , Kamus Alkitab,
(Jakata: Gunung Mulia, 2007), hal 230
[9]
Robert M. Peterson, Tafsiran Kitab Imamat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994),
hal. 259
[10]
Stephen Tong, Pengudusan Emosi, (Surabaya: Momentum, 2007),hal. 5.
[12]
Stephen Charnock, The Existence and
Attributes of God, Vol. II (Grand Rapids, MI: Baker Book House, 1979
reprint), hal. 112.
[13] George Arthur Buttrick, The Interpreter’s Dictionary of the Bible, (New
York: Abingdon, 1962), hlm. 617, asal kata קדש, qds
diadopsi dari keagamaan sekitar orang-orang Kanaan, lih. juga. Kuhn, αγιος dalam Gerhard Kittel (ed.), Theological Dictionary of the New
Testament, Vol. I, (Michigan: W.M. B. Eerdmans Publishing, 1976), hlm. 89
[14] C. Barth, Teologi Perjanjian Lama 1, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004), hlm.
315
[16] Gerhard Kittel (ed.), Theological Dictionary of the New
Testament, Vol. I, (Michigan: W.M. B. Eerdmans Publishing, 1976), hlm. 90, selanjutnya
buku ini disingkat dengan: TDNT,
lihat juga Jamess Arr, (ed.), The
International Standard Bible Encyclopaedia, Vol. 3, (Grand Rapids:
Eerdmans, 1980), hlm. 1403-1404
[18] George, hlm. 617
[19] Ibid., hlm. 617
[20] Kata yang digunakan untuk mengungkapkan
kekudusan Allah dengan niph’al vD:Þq.nI, niqdas “menguduskan dirinya sendiri”,
dalam hal ini Allah yang menjadi subyek (Im. 10:3; Ex. 29:43; 22:32; Yes. 5:16;
Ezr. 20:41), bnd. Gerhard Kittel, Op.Cit.,
TDNT vol. I, hlm. 91
[21] Kekudusan tabut dapat dilihat dalam
cerita Uza dalam 2 Sam. 6:6-7. “Ketika mereka sampai ke tempat pengirikan
Nakhon, maka Uza mengulurkan tangannya kepada tabut Allah itu, lalu
memegangnya, karena lembu-lembu itu tergelincir. Maka bangkitlah murka TUHAN
terhadap Uza, lalu Allah membunuh dia di sana karena keteledorannya itu; ia mati
di sana dekat tabut Allah itu”, meskipun dalam cerita itu tidak dipakai kata קדש,
kemarahan Allah berhubungan kekudusan Allah, Millar Burrows, An Out Line of Biblical Theology
(Philadelpia: Westminster, 1946), hlm. 69
[22] William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas,
1990), hlm. 35
[23] Sebutan ‘Yang Kudus Israel’ disebut 30
kali di Yesaya; Mazmur 71:22; Yeremia 50:29, dsb), William Dyrness, Ibid., hlm. 36
[24] Ibid., hlm. 36
[25] Gustave Friedrich Oehler, Theology of the Old Testament, (Grand
Rapids: Zondervann Publishing,1883), hlm. 105-106
[26] Ibid., hlm. 106
[27] i`ero,j memiliki
arti (1) suci, kudus
(berhubugan dengan Tuhan) (2 Tim 3:15), (2) menunjuk pada benda; (a) sebagai
area yang suci di bawah perlindungan suatu kuil dewa (Kis. 19.27); (b) menunjuk
pada bait Allah di Jerusalem, mencakup keseluruhan, kesucian bangunan, dinding,
dan gerbang (Mat. 21.12); (c) segala sesuatu yang merupakan bagian dari bait
Allah dan Ibadah adalah suci atau kudus (1Kor. 9.13). Schrenk, i`ero,j,, dalam Gerhard Kittel (ed.), TDNT Vol. III, hlm. 221
[28] o[sioj biasanya, berhubungan dengan hukum Tuhan
yang tertinggi; (1) tentang orang –orang benar di depan Tuhan yang kudus,
tulus, dipersembahkan (Tit. 1:8); mengenai mengangkat tangan sebagai doa kudus,
murni (1Tim. 2.8); (2) tentang yang tidak bisa dipisahkan antara Tuhan Dan
Kristus yang kudus (Ibr. 7.26); yang Maha Kudus (Kis. 2:27); (3) segala sesuatu
yang kudus, ilahi; keputusan kudus, janji ilahi (ta. o[sia) ( Kis. 13.34). Hauck, o[sioj, dalam
Gerhard Friedrich (ed.), TDNT Vol. V, hlm. 489
[29] semno,j Menyatakan perilaku-perilaku menunjuk kepada
martabat dan rasa hormat tentang karakter baik,
yang patut dimuliakan. Foerster, semno,j, dalam Gerhard
Friedrich (ed.), TDNT Vol. V, hlm. 191
[30] a`gno,j, (1) karakter yang ditandai oleh kemurnian
moral, membebaskan diri dari/bebas dari dosa (1Tim. 5.22); tidak bermaksud
untuk berbuat jahat, suci ( 2Kor. 7.11); murni ( Flp 4.8). Hauck, a`gno,j, dalam Gerhard
Kittel, TDNT Vol. I, hlm. 122
[31] Herman Creamer,
Biblico-Theological Lexicon of New
Testament, (Edinburgh: T & T Clark, 1954), hlm. 35-36
[32] J.A. Thompson, Kudus, Pengudusan, dalam J.D. Douglas (ed.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini - Jilid I, (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2001), hlm. 618
[33] D.C. Mulder, Pembimbing Ke dalam Perdjandjian Lama, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
1970), hlm. 33
[34]
Edward J. Young, An Introduction the Old
Testment, (Grand Rapids: Eerdmans, 1964), hal. 75
[35] Gary Damarest, Mastering The Old Testament, (London: World Publishing, 1982), hlm.
19
[36] G.J. Wenham, The Book of Leviticus, (Michigan: Granrapids, 1979), hlm. 3
[37] Sama dengan Alkitab yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Simalungun, Pak-Pak, yang menggunakan sebutan I Musa, II Musa, III
Musa, IV Musa dan V Musa, sedangkan Angkola, Karo dan sebahagian besar
suku-suku di Indonesia mengikuti terjemahan Alkitab Berbahasa Indonesia
(Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan).
[38] Robert, hlm. 2
[39] Wenham, hlm. 8-9
[40] Otto Eissfeldt, The Old Testament-an Introduction, (New York: Harper and Row,
1965), hlm. 233
[41] Ibid, hlm.
233
[43] Wenham, hlm. 8-9
[44] Otto, hlm 233
[45] Georg Fohrer, History Of Israelite Religion, (London: S.P.C.K, 1981), hlm. 314
[46] Ibid., hlm. 314
[48] Mulder, hlm. 54
[49] Brevard S. Childs, Op. Cit., hlm. 180-181
[50] S.R. Driver, An Introduction to The Literature of the Old Testament, (Edinburgh:
T & T Clark, 1982), hlm. 45
[51] Otto,
hlm. 207
[52] Ibid., hlm. 207
[53] Ibid., hlm. 207
[54] Etienne, hlm. 95
[55] Robert H. Pfeirer, Op.cit., hlm. 203
[56] Robert, hlm. 3
[57] J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab – Kejadian
sampai Ester, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2004), hlm. 111
[58]
Robert, hlm. 253
[59]
J.L. Mays, Layman’s Bible
Commentaries-Leviticus, Number, (London: SCM). hlm. 59
[60] John Sailhamer, The Pentateukh as Narrative, (Grand Rapids: Zondervan, 1992), hlm.
349-351
[61] Lasor,
hlm. 224
[62] Ibid., hlm. 224
[63] Georg Fohrer, hlm. 315
[64] W.H. Gispen, “Kitab Imamat” dalam J.D. Douglas, (ed.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (Jakarta: Yayasan Bina
Komunikasi/OMF, 2002), hlm.431
[65] Ibid., hlm. 431
[66] Seorang Nabi ialah juru bicara Allah,
bnd. Kel. 7:1
[69] Gustavo
Friedrich Oehler, Theology Of The Old
Testament, (Grand Rapids – Michigan: Zondervann Publishing, 1883), hlm. 104
[70] Wismoady
Wahono, Dua Studi Tentang Hubungan TUHAN
dan Israel, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1983), hlm. 85
[72] Wenham, hlm. 264
[73]
Ofm.C. Groenen. Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanesius 1980)
hlm.107
[74] Lasor,
hlm. 216
[75]
Charles F. Pfriffier (Ed), The Wycliffe
Bible Commentary Vol I. Malang, Gandum Mas, 2007. hlm. 286
[76] Kesepuluh Dekalog dalam Kel. 20, juga terlihat tiga
larangan yang merupakan intinya; “janganlah ada padamu allah lain
dihadapan-Ku”, “janganlah membuat patung bagimu” dan “janganlah menyebut nama
TUHAN dengan sembarangan.” Hukum ini berfungsi untuk melindungi kekudusan
Allah. Lih. C. Barth, Op.Cit., TPL 3, hlm. 316
[77] Martin Luther, (Anwar Tjen, penerj.), Kathekismus Besar, (Jakarta: BPK-Gunung
Mulia, 2003), hlm. 51
[78]
Luther, hlm. 286
[80] Larangan untuk tidak membuat dewa-dewa
tuangan berulang kali dilarang dalam Perjanjian Lama (bnd. Kel. 34:17; Kel.
20:4; Ul. 5:8)
[81] Herbert Wolf, Op. Cit., hlm. 247
[89] Alexander Nisbet, An Exposition of 1 & 2 Peter, (A Geneva Commentary series).
hlm. 80
[90] Pietisme merupakan suatu gerakan
kebangunan rohani yang bermula di Jerman pada akhir abad tujuh belas
ditengah-tengah gereja Lutheran yang dipelopori oleh Philip Jacob Spener
(1635-1705), kemudian Agus Franckle (1663-1727), dan Nikolaus von Zinzendorf
(1700-1760).
[91] Christian deJonge, Gereja Mencari Jawab: Kapita Selekta
Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1994), hlm. 37
[92] Ibid., hlm. 79
[93] Leonard Halle, Jujur Terhadap Pietisme, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1996), hlm.
115
[96] ----, Ruhut Parmahanion dohot Pamisangon di HKBP, (Pearaja Tarutung : Kantor Pusat, 1987), hlm. 2
[98]
_______, Aturan Dohot
Peraturan HKBP 2002 (dung Amandemen I), Pematang Siantar: Percetakan HKBP
2011. hlm. 67.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar